hmi komisariat kelautan

hmi komisariat kelautan

Jumat, 07 Januari 2011

Etika dan Estetika cinta, dulu dan sekarang

Bagi seorang aktifis gerakan atau organisasi dakwah yang melabelkan Islam di belakangnya, sudah menjadi keniscayaan jika segala aktifitasnya senantiasa disandarkan kepada Allah dan nafas perjuangan dan tindak tanduknyanya sesuai dengan norma-norma Islam. Namun di era globalisasi ini hampir-hampir telah mengikis nafas pejuangan itu. Tak ada lagi spirit perjuangan yang dirasakan yang ada hanya kehampaan.

Era ini adalah era informasi, hampir seluruh penjuru bahkan isi hati seseorang dapat diketahui oleh semua orang, maka di era yang paling berpengaruh adalah alat komunikasi, era di mana tak ada lagi celah untuk menyembunyikan sebuah budaya atau pun ada masyarakat tertentu di daerah terpencil sekalipun. Tak terkecuali aktifis Islam pun tak dapat bersembunyi darinya.

Isi hati dan pikiran seseorang tidak lagi disembunyikan dan begitu mudahnya untuk diungkapkan, melalui berbagai media, internet, dan alat canggih yang disebut dengan HP, dengan biaya yang murah dan terjangkau semua kalangan, serta langsung dapat dinikmati. Alat ini juga dapat membuat yang jauh menjadI dekat seolah-olah dunia ini dapat dijangkau hanya dengan satu tombol: Enter/Yes atau OK. Makanya ada orang bilang kalau dunia ini menjadi sempit dengan adanya system informasi yang modern dan canggih.

Bercinta bukanlah sesuatu hal yang dilarang dalam agama, bahkan itu sudah menjadi fitrah manusia (Qs.3:14).Nnamun Islam menuntut adanya etika yang baik, karena sesungguhnya cinta itu berada dalam kesucian dan tak pernah keluar darinya. Dengan cinta pandangan menjadi indah, dengan cinta bekerja akan menjadi ikhlas.

Bahkan para sufi menyatakan bahwa cinta atau mahabbah adalah puncak tertinggi dari sebuah penghambaan kepada Allah. Cinta kepada lawan jenis pun tidak dilarang, namun harus ada etika yang baik sehingga cinta tak ternodai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan cinta.

Dulu orang mengungkapkan cinta kepada kekasihnya dengan menggunakan surat yang ditulis di atas kertas putih menggunakan tinta berwarna merah, serta menggunakan gaya bahasa yang santun dan puitis. Ini melambangkan kesucian cinta serta ketinggian budi bahasa seseorang. Setelah itu surat cinta itu diantar dengan seorang perantara yang terpercaya dan terjaga kerahasiaannya, ini dilakukan untuk menghindari agar tidak terjadi sabotase oleh orang lain. Itulah etika bercinta orang dulu khususnya di dunia Timur.

Namun, jauh berbeda dengan hari ini, tak ada lagi yang dapat disembunyikan, tak ada lagi yang harus di rahasiakan, bahkan kalau perlu diketahui oleh semua orang dan semuanya hanya cukup dengan satu tombol; Enter/Yes atau OK. Cukup dengan SMS atau menelpon seseorang langsung mengetahui isi hati seseoang dalam waktu singkat dan lebih akurat namun kurang memiliki nilai estetika dan perjuangan dibandingkan gaya bercinta masa lampau.

Dalam etika ketimuran dapat dipandang kurang beretika karena dunia timur mengenal istilah seni dan etika dalam bercinta bahkan nuansa spiritualitas pun tak boleh dipisahkan, hal ini berbeda dengan dunia barat, mengungkapkan cinta dengan cara yang Vulgar, sehingga yang nampak hanya nafsu, bukan cinta.

Itulah modernism yang mengikis nilai-nilai estetika dan etika, semuanya diukur dengan rasionalitas, menggunakan bahasa yang satu makna/denotatif, bukan kiasan/konotatif, namun sesungguhnya telah membuat rohani menjadi kering dan menggeser makna cinta menjadi sesuatu yang rasional, padahal cinta adalah rasa yang tak dapat diasionalkan bahkan tak akan dapat dideskripsikan. jika sekiranya Al-Quran bukan bahasa puitis maka ia akan kering akan makna dan kandungannya dan tak akan dirasakan keagunggannya.

oleh. sekum umum cabang palopo

Hymne & Mars HMI

HIMNE HMI

Bersyukur dan ikhlas
Himpunan mahasiswa islam
Yakin usaha sampai
Untuk kemajuan
Hidayah dan taufik
Bahagia HMI

Berdoa dan ikrar
Menjunjung tinggi syiar islam
Turut qur’an dan hadits
Jalan keselamatan
Ya Allah berkati
Bahagia HMI


MARS HIJAU HITAM
Bulan sabit kejayaan
Bintang lima kemenangan
Angka satu ketauhidan
Jantung pusat kehidupan

Hijau keteguhan iman
Hitam kedalaman ilmu
Putih ketulusan amal
Dibawah naungan Ilahi
Panji kemanusiaan t’lah dikibarkan
Pena kebenaran t’lah ditorehkan
Perisai keadilan t’lah ditegakkan
Himpunan mahasiswa islam
Iman perinsip abadi
Ilmu bekal yang hakiki
Amal kendaraan diri
Menuju ridho Ilahi
Panji kemanusiaan t’lah dikibarkan
Pena kebenaran t’lah ditorehkan
Perisai keadilan t’lah ditegakkan
Himpunan Mahasiswa Islam

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

ANGGARAN DASAR

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM


Bismillahirromanirrahiim


MUQODDIMAH



Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala telah mewahyukan Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia berperikehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya.

Menurut iradat Allah Subhanahu Wata’ala, kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia ialah Islam, yakni paduan utuh antara aspek duniawi dan ukhrawi, individu dan masyarakat, serta iman, ilmu dan amal dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Sesuai dengan fungsi penciptaan manusia, umat Islam berkewajiban mengemban amanah kekhalifahannya guna mewujudkan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanhu Wata’ala.

Mahasiswa Islam sebagai bagian dari umat Islam yang menyadari akan hak dan kewajibannya, dituntut peran serta dan tanggung jawabnya dalam mengembangkan dakwah Islamiyah untuk mewujudkan nlai-nilai aqidah, kemanusiaan yang berdasarkan pada fitrah, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariah. Umat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam musyawarah, serta tegaknya nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Meyakini bahwa tujuan itu dapat dicapai dengan hidayah dan taufiq Allah Subhanahu Wata’ala, serta usaha-usaha yang teratur, terencana dan penuh hikmah dengan mengharap ridho Allah, kami mahasiswa Islam menghimpun diri dalam satuan organisasi yang tergerakkan dengan Pedoman Anggaran Dasar sebagai berikut:



BAB I

NAMA, WAKTU DAN TEMPAT



Pasal 1 : Organisasi ini bernama Himpunan Mahasiswa Islam dI singkat HMI.



Pasal 2 : HMI didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947, untuk waktu yang tidak ditentukan.



Pasal 3 : HMI Berazaskan Islam



Pasal 4 : Tujuan yang ingin dicapai adalah terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulul Albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala.



Pasal 5 : Pencapaian tujuan dilakukan dengan usaha organisasi berupa:

a. Membina mahasiswa Islam untuk menuju tercapainya Insan Mu’abbid, Mujahid, Mujtahid, dan Mujadid;

b. Mengembangkan potensi kreatif terhadap berbagai aspek kehidupan;

c. Mengambil peran aktif dan mewarnai dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kemasyarakatan dengan inisiatif, partisipasi yang konstruktif, kreatif sehingga tercapainya nuansa yang Islami;

d. Memajukan kehidupan umat Islam dan masyarakat pada umumnya sebagai implementasi rahmatan lil’alamin;

e. Membangun kerjasama dengan organisasi Islam lainnya dan organisasi lainnya yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan;

f. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan asas organisasi dan berguna untuk mencapai tujuan.



BAB II

STATUS DAN IDENTITAS



Pasal 6 : Himpunan Mahasiswa Islam bersifat Independen.



Pasal 7 : Himpunan Mahasiswa Islam adalah organisasi kemahasiswaan.



Pasal 8 : Himpunan Mahasiswa Islam adalah organisasi perkaderan dan perjuangan.



BAB III

KEANGGOTAAN



Pasal 9 : Anggota HMI terdiri atas Anggota Muda, Anggota Biasa dan Anggota Kehormatan



BAB IV

STRUKTUR ORGANISASI



Pasal 10 : HMI berkedudukan di tempat Pengurus Besar.



Pasal 11 : Kekuasaan dipegang oleh Kongres ditingkat pusat, Konferensi di tingkat cabang dan Rapat Anggota Komisariat ditingkat komisariat;



Pasal 12 : Pimpinan terdiri atas Pengurus Besar, Pengurus Cabang, dan Pengurus Komisariat;



Pasal 13 : Lembaga Koordinasi merupakan lembaga yang membantu struktur pimpinan dalam memastikan akan jalannya kebijakan Pengurus Besar atau perogram kerja Pengurus Cabang dlingkungan wilayahnya;



Pasal 14 : Lembaga Khusus merupakan lembaga yang menjalankan tugas khusus organisasi;



Pasal 15 : Lembaga Kekaryaan dibentuk untuk meningkatkan dan mengembangkan keahlian dan bakat para anggota di bidang tertentu;



Pasal 16 : Di tingkat Pengurus Besar dibentuk Majelis Syuro Organisasi dan apabila dipandang perlu dapat dibentuk di tingkat cabang.;







BAB V

KESEKRETARIATAN



Pasal 17 : Gerak organisasi dengan struktur organisasinya dijalankan dengan bantuan alat organisasi lainya seperti sistem administrasi dan sistem keprotokoleran;



BAB VI

KEUANGAN



Pasal 18 : Sumber-sumber keuangan HMI diperoleh dari:

a. Uang pangkal, iuran, infaq, dan/atau sumbangan anggota;

b. Usaha-usaha yang sah, halal dan tidak mengikat;


BAB VII

ATRIBUT ORGANISASI



Pasal 19 : Atribut-atribut Organisasi ditetapkan sebagai simbol-simbol organisasi yang digunakan dalam aktifitas organisasi.



BAB VI

ATURAN TAMBAHAN



Pasal 20 : Amandemen Anggaran Dasar hanya dilakukan di Kongres melalui prosedur :

a. Pengajuan amandemen oleh struktur pimpinan HMI ditujukan kepada MSO Pusat.

b. Usulan amandemen oleh MSO Pusat diajukan ke Kongres



Pasal 21 : a. Dalam Muqadimah alinea 1 dan 2 menjiwai pasal 3, alinea 3 menjiwai pasal 4 dan 8 alinea 4 menjiwai pasal 6 dan 7 dan alinea 5 menjiwai pasal-pasal selain yang tercantum diatas.

b. Penjelasan Pasal 3, 4, 5 dan 6 tentang azas, tujuan, usaha dan sifat disebut Khittoh perjuangan.

d. Penjelasan pasal 7 dan 8 tentang identitas dan status terdapat dalam pedoman perkaderan (PP).

e. penjelasan Anggaran Dasar tentang hal-hal diluar huruf b, c dan d di atas dijelaskan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART).



Pasal 22 : Pengesahan ditetapkan pada Kongres ke-3 di Jakarta pada tanggal 4 September 1953, yang diperbaharui pada Kongres ke-4 di Bandung, pada tanggal 14 Oktober 1955, Kongres ke-5 di Medan pada tanggal 31 Desember 1957, Kongres ke-6 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 20 Juli 1960, Kongres ke-7 di Jakarta pada tanggal 14 September 1963, Kongres ke-8 di Solo (Surakarta) pada tanggal 17 September 1966, Kongres ke-9 di Malang pada tanggal 10 Mei 1969, Kongres ke-10 di Palembang pada tanggal 10 Oktober 1971, Kongres ke-11 di Bogor pada tanggal 12 Mei 1974, Kongres ke-12 di Semarang pada tanggal 16 Oktober 1976, Kongres ke-13 di Ujungpandang pada tanggal 12 Februari 1979, Kongres ke-14 di Bandung pada tanggal 30 April 1981, Kongres ke-15 di Medan pada tanggal 26 Mei 1983, Kongres ke-16 di Yogyakarta pada tahun 1986, Kongres ke-17 di Yogyakarta pada tanggal 5 Juli 1988, Kongres ke-18 di Bogor pada tanggal 10 Oktober 1990, Kongres ke-19 di Semarang pada tanggal 24 Desember 1992, Kongres ke-20 di Purwokerto pada tanggal 27 April 1995, Kongres ke-21 di Yogyakarta pada tanggal 28 Juli 1997, kongres ke-22 di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1999, kongres ke-23 di Makassar tanggal 25 Juli 2001, kongres ke-24 di Semarang tanggal 11 September 2003, kongres ke-24 di Palu tanggal 15 Agustus 2005 dan dikukuhkan kembali di Depok tanggal 16 Agustus 2005



Billahit taufiq walhidayah,



———————————————————–

ANGGARAN RUMAH TANGGA

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

BISMILLAHIRROHMANIRRAHIIM





BAB I

KEANGGOTAAN



BAGIAN I :ANGGOTA



Pasal 1 : Anggota Muda ialah mahasiswa Islam yang menuntut ilmu pada perguruan tinggi dan atau lembaga pendidikan yang sederajat dengan itu, yang telah memenuhi syarat keanggotaan.



Pasal 2 : Anggota Biasa ialah anggota muda yang telah memenuhi syarat untuk menjadi anggota biasa dan atau mahasiswa Islam yang telah lulus Latihan Kader I yang dianggap sah oleh Pengurus Cabang.



Pasal 3 : Anggota Kehormatan ialah orang yang dianggap telah berjasa kepada HMI yang ditetapkan oleh Pengurus Cabang atau Pengurus Besar.


BAGIAN II : TATA CARA KEANGGOTAAN



Pasal 4 : a. Setiap mahasiswa Islam yang ingin menjadi anggota harus menyatakan persetujuannya terhadap Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Khittah Perjuangan serta Pedoman-pedoman Pokok lainnya;

b. Bila telah memenuhi apa yang tersebut dalam ayat a, serta pernah mengikuti aktivitas HMI dan memenuhi syarat keanggotaan, yang bersangkutan dinyatakan sebagai Anggota Muda HMI;

c. Anggota muda yang telah memenuhi syarat untuk menjadi anggota biasa dan atau mahasiswa Islam yang telah lulus Latihan Kader I berhak menjadi Anggota Biasa;

d. Syarat untuk menjadi anggota kehormatan ditentukan oleh Pengurus Cabang berdasarkan aturan-aturan HMI setelah melihat dedikasi, aktivitas, kontinuitas, dan komitmen perjuangannya terhadap HMI.







BAGIAN III : HAK DAN KEWAJIBAN ANGGOTA



Pasal 5 : Hak Anggota

a. Anggota Muda berhak mengikuti LK I dan aktivitas-aktivitas lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi;

b. Anggota Muda yang telah memenuhi syarat untuk menjadi Anggota Biasa dan atau mahasiswa Islam yang telah lulus LK I berhak menjadi Angota Biasa;

c. Anggota Muda berhak mengikuti kegiatan-kegiatan berdasarkan ketentuan pimpinan HMI dan berhak mengeluarkan pendapat atau mengajukan usul, namun tidak mempunyai hak dipilih dan memilih;

d. Anggota Biasa mempunyai hak mengeluarkan pendapat, mengajukan usul atau pertanyaan baik dengan lisan maupun tulisan kepada pengurus, serta mempunyai hak dipilih dan memilih;

e. Anggota Kehormatan dapat mengajukan saran atau usul, serta pertanyaan-pertanyaan kepada Pengurus HMI.



Pasal 6 : Kewajiban Anggota

a. Membayar uang pangkal anggota dan uang iuran anggota yang besarnya ditentukan oleh masing-masing cabang;

b. Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan HMI;

c. Menjaga nama baik organisasi;

d. Terkecuali bagi Anggota Kehormatan tidak berlaku ayat a.



BAGIAN IV : STATUS KEANGGOTAAN



Pasal 7 : Massa Keanggotaan

a. Masa keanggotaan HMI berlaku sejak menjadi anggota HMI hingga 12 tahun dan sesudahnya disebut alumni.;

b. Anggota yang habis masa keanggotaannya disaat masih memegang amanah kepengurusan, maka usia keanggotaannya diperpanjang hingga habis masa kepengurusan.



Pasal 8 : Jabatan Rangkap

a. Anggota HMI yang mempunyai kedudukan pada organisasi atau badan-badan lainnya di luar HMI harus menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan AD/ART dan ketentuan-ketentuan lainnya;

b. Pengurus HMI tidak dibenarkan untuk merangkap jabatan di dalam struktur HMI, kecuali dalam keadaan tertentu dan atas persetujuan pimpinan HMI sesuai dengan jenjang kepengurusan.

Pasal 9 : Mutasi Anggota

a. Anggota HMI dapat melakukan Mutasi dari satu cabang ke cabang yang lain jika pindah Perguruan Tinggi pada cabang yang berbeda;

b. Mutasi anggota HMI dari cabang yang satu ke cabang yang lain diwajibkan membawa Surat Pengantar dan Kartu Anggota dari cabang asal.





BAGIAN V : PEMBERHENTIAN KEANGGOTAAN



Pasal 10 : Anggota diberhentikan keanggotaannya, karena :

a. Meninggal dunia;

b. Atas permintaan sendiri;

c. Diskors (pemberhentian sementara);

d. Dipecat.



Pasal 11 : Anggota dapat diskors atau dipecat, karena :

a. Bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan HMI;

b. Bertindak merugikan atau mencemarkan nama baik HMI.



Pasal 12 : Tata Cara Skorsing/Pemecatan

a. Tuntutan skorsing/ pemecatan dapat diajukan oleh Pengurus Komisariat kepada Pengurus Cabang;

b. Tata cara skorsing/pemecatan terhadap anggota dilakukan dengan suatu peringatan terlebih dahulu, sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali peringatan;



Pasal 13 : Pembelaan

a. Anggota yang diskorsing/pemecatan, dapat membela diri dalam Konferensi atau forum yang ditunjuk MSO untuk itu dan Pengurus Cabang berkewajiban untuk melaksanakannya;

b. Putusan skorsing/pemecatan yang diambil di dalam Konferensi atau forum lain yang ditunjuk MSO dianggap sah apabila sekurang-kurangnya dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah utusan Komisariat yang seharusnya hadir;

c. Prosedur pembelaan diatur dalam Pedoman Operasional HMI.


BAB II
STRUKTUR ORGANISASI


A. STRUKTUR KEKUASAAN



BAGIAN I : KONGRES



Pasal 14 : Status

a. Kongres merupakan musyawarah utusan cabang-cabang;

b. Kongres memegang kekuasaan tertinggi organisasi;

c. Kongres diadakan 2 (dua) tahun sekali;

d. Kongres dapat diadakan menyimpang dari ayat c jika atas inisiatif 1 (satu) Cabang, dan disetujui lebih dari separuh jumlah Cabang-cabang.



Pasal 15 : Kekuasaan/Wewenang

a. Menilai pertanggungjawaban Pengurus Besar HMI;

b. Mendengar Laporan Pelaksanaan Tugas Majelis Syuro Organisasi;

c. Menetapkan Anggaran Dasar, Aanggaran Rumah Tangga, Khittoh Perjuangan, dan Pedoman-pedoman Operasional HMI;

d. Memilih Ketua Umum HMI yang merangkap sebagai Formateur dan memilih 4 (empat) Mide Formateur;

e. Meunjuk Majelis Syuro Organisasi.



Pasal 16 : Tata Tertib

a. Peserta Kongres terdiri dari Utusan Cabang dan Peninjau;

b. Utusan Cabang mempunyai Hak Suara dan Hak Bicara;

c. Peninjau hanya memiliki hak bicara

d. Peninjau adalah Pengurus Besar yang telah dinyatakan demisioner dan peninjau dari cabang-cabang;

e. Pimpinan Kongres dipilih dari peserta oleh Utusan Cabang, dan berbentuk Presidium yang memahami konstitusi HMI dengan baik;

f. Steering Committee Kongres memimpin sidang kongres sebelum Persidium Kongres terbentuk;

g. Pengurus Besar dinyatakan demisioner setelah pertanggung-jawabannya dinilai oleh Kongres;

h. Kongres dapat dinyatakan sah apabila telah dihadiri lebih dari separuh junlah utusan cabang-cabang;

i. Apabila pada ayat h tidak terpenuhi, maka Kongres diundur selambat-lambatnya 1 x 24 jam, dan setelah itu dapat dimulai;

j. Jumlah Utusan Cabang dalam Kongres ditentukan dengan rumus:

Sn = a pn-1

Sn : Jumlah anggota a : 50

p : Pembanding = 2 n : Jumlah utusan

Contoh


Jumlah Anggota


Utusan







50


= 1







150


= 2







450


= 3







1350


= 4







4050


= 5







12150


= 6







Dan seterusnya


= dst




k. Jumlah peninjau Cabang ditetapkan oleh Panitia Kongres atas pertimbangan Steering Committe Kongres;

l. Jumlah Utusan dapat ditetapkan oleh Pengurus Besar HMI atas persetujuan Majelis Syuro Organisasi untuk cabang yang tidak memiliki kejelasan jumlah anggota.



BAGIAN II : KONFERENSI



Pasal 17 : Status

a. Konferensi merupakan musyawarah utusan komisariat-komisariat ditingkatan cabang;

b. Konferensi memegang kekuasaan tertinggi ditingkat cabang;

c. Konferensi diadakan 1 (satu) kali setahun;

d. Konferensi dapat diadakan menyimpang dari ketentuan b jika atas inisiatif 1 (satu) komisariat, dan disetujui lebih dari separuh jumlah utusan komisariat.



Pasal 18 : Kekuasaan/Wewenang

a. Menetapkan Garis Besar Program Kerja sebagai pengejawantahan Ketetapan-ketetapan Kongres;

b. Menilai pertanggungjawaban Pengurus Cabang HMI;

c. Memilih Ketua Umum yang merangkap sebagai Formateur dan kemudian memilih 4 (empat) Mide Formateur;

d. Mendengar Laporan Pelaksanaan Tugas MSO Cabang

e. Menunjuk anggota MSO Cabang



Pasal 19 : Tata Tertib

a. Peserta Konferensi terdiri dari Utusan Komisariat, dan Peninjau;

b. Utusan Komisariat memiliki Hak Suara dan Hak Bicara;

c. Peninjau hanya memiliki hak bicara;

d. Peninjau adalah Pengurus Cabang yang telah demisioner dan peninjau dari Komisariat-komisariat;

e. Pimpinan Konferensi dipilih dari peserta oleh Utusan Cabang, dan berbentuk Presidium yang memahami konstitusi HMI dengan baik;

f. Steering Committee Konfrensi memimpin sidang konferensi sebelum Persidiun Konferensi terbentuk;

g. Pengurus Cabang dinyatakan demisioner setelah pertanggung-jawabannya dinilai oleh Konferensi;

h. Konferensi dinyatakan sah bila dihadiri lebih dari separuh utusan Komisariat;

i. Apabila ayat h tidak terpenuhi, maka Konferensi diundur selambat-lambatnya 1 x 24 jam, dan setelah itu dianggap sah;

j. Jumlah Utusan Komisariat pada Konferensi disesuaikan dengan pasal 16 ayat h dengan ketentuan a = 30 (tiga puluh);

k. Jumlah peninjau dari Komisariat ditentukan oleh Panitia konferensi atas persetujuan Steering Committe;

l. Jumlah Utusan dapat ditetapkan oleh Pengurus Cabang atas persetujuan MSO pada komisariat yang tidak memiliki kejelasan jumlah anggota.

m. Untuk cabang yang tidak memiliki 3 komisariat, maka utusannya adalah anggota cabang.

n. Bila point m tidak terpenuhi, sidang ditunda selambat-lambatnya 1 x 24 jam dan setelah itu dianggap sah.



BAGIAN III : RAPAT ANGGOTA



Pasal 20 : Status

a. Rapat Anggota merupakan musyawarah anggota Komisariat;

b. Rapat Anggota memegang kekuasaan tertinggi ditingkat Komisariat

c. Rapat Anggota diadakan 1 (satu) tahun sekali;

d. Rapat Anggota dapat menyimpang dari ayat a jika atas inisiatif 1 (satu) anggota dan disetujui lebih dari separuh jumlah anggota pleno Komisariat.



Pasal 21 : Kekuasaan/Wewenang

a. Menetapkan Garis Besar Haluan Kerja Komisariat sebagai bentuk pengejawantahan Ketetapan Konferensi;

b. Menilai pertanggungjawaban Pengurus Komisariat;

c. Memilih Ketua Umum merangkap sebagai Formateur dan kemudian memilih 4 (empat) Mide Formateur;



Pasal 22 : Tata Tertib

a. Peserta Rapat Anggota adalah Pengurus Komisariat dan Anggota Komisariat;

b. Anggota Komisariat memiliki Hak Suara dan Hak Bicara;

c. Pengurus Komisariat hanya memiliki Hak Bicara;

d. Pimpinan Rapat Anggota dipilih dari peserta oleh Anggota Komisariat, dan berbentuk Presidium yang memahami konstitusi HMI dengan baik;

e. Steering Committee Rapat Anggota memimpin sidang kongres sebelum Persidiun Kongres terbentuk;

f. Pengurus komisariat dinyatakan demisioner setelah Laporan pertanggung-jawabannya dinilai oleh Rapat Anggota;

g. Rapat Anggota dinyatakan sah apabila dihadiri lebih dari separuh anggota;

h. Apabila ayat g tak dapat dipenuhi, Rapat Anggota dapat diundur maskimal 1 x 24 jam dan dinyatakan sah;


C. STRUKTUR PIMPINAN



BAGIAN I : PUSAT



Pasal 23 : Status

a. Pengurus Besar adalah badan tertinggi di struktur kepimpinan HMI;

b. Masa jabatan Pengurus Besar adalah 2 (dua) tahun;



Pasal 24 : Pengurus Besar

a. Pengurus Besar terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Pengurus Harian, Lembaga Koordinasi, Lembaga-Lembaga kekaryaan dan Lembaga-Lembaga Khusus dan para stafnya;

b. Pengurus Besar adalah anggota HMI yang pernah menjadi Pengurus Cabang, dan atau telah mengikuti Latihan Kader II;

c. Apabila Ketua Umum berhalangan tetap, maka dapat diangkat Pejabat Ketua Umum oleh Rapat Presidium Pengurus Besar;



Pasal 25 : Tugas dan Kewajiban :

a. Pengurus Besar Melaksanakan Ketetapan-Ketetapan Kongres;

b. Pengurus Besar menjalankan tugasnya setelah dilakukan serah terima dari pengurus periode sebelumnya;

c. Pengurus Besar wajib mengumumkan ke seluruh Cabang segala Kebijakan Strategis HMI;

d. Ketua Umum Pengurus Besar HMI bertanggungjawab pada Kongres.



Pasal 26 : Rapat Presidium Pengurus Besar

a. Rapat Presidium Pengurus Besar berfungsi sebagai forum evaluasi dan perencanaan atas pelaksanaan amanah kongres.

b. Rapat Presidium Pengurus Besar minimal dilakukan tiap 6 bulan;

c. Rapat Presidium Pengurus Besar minimal dihadiri oleh Ketua Umum, Skeretrais Jenderal, Bendahara Umum, Ketua-Ketua Komisi Kebijakan, Ketua Badan Koordinasi, Ketua Lembaga Khusus, dan Ketua Lembaga Kekaryaan.



BAGIAN II : C A B A N G



Pasal 27 : Status

a. Cabang merupakan kesatuan organisasi yang dibentuk oleh Pengurus Besar di tempat yang ada Perguruan Tinggi pada satu Kabupaten/Kota atau di beberapa kabupaten/kota.

b. Cabang dapat didirikan dengan sekurang-kurangnya memiliki Ketua Umum, Sekretaris Umum dan Bendahara Umum, dan disahkan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal HMI dengan status cabang persiapan;

c. Cabang persiapan menjadi cabang Penuh jika telah mendapat bimbingan minimal selama satu tahun oleh Pengurus Besar;

d. Penetapan Cabang Penuh dilakukan melalui Surat Keputusan Ketua Umum dan Sekretaris Jendral Pengurus Besar HMI;

e. Pendirian cabang dapat dilakukan oleh Anggota atau Komisariat yang sebelumnya telah masuk pada satu cabang tertentu yang disetujui oleh pengurus cabang bersangkutan.



Pasal 28 : Pengurus Cabang

a. Pengurus Cabang adalah badan tertinggi dalam struktur kepimpinan HMI ditingkat Cabang;

b. Pengurus Cabang terdiri dari Ketua Umum dan Pengurus Harian, Koordinator Komisariat, Lembaga-Lembaga khusus, dan Lembaga-Lembaga Kekaryaan;

c. Masa jabatan Pengurus Cabang adalah 1 (satu) tahun;

d. Pengurus Cabang adalah anggota yang pernah menjadi Pengurus Komisariat dan/atau telah lulus Latihan Kader II;

e. Apabila Ketua Umum Pengurus Cabang berhalangan tetap, dapat diangkat Pejabat Ketua Umum oleh Rapat Presidium Pengurus Cabang.



Pasal 29 : Tugas dan Kewajiban

a. Pengurus Cabang melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Pengurus Besar dan Ketetapan-Ketetapan Konferensi

b. Pengurus Cabang menjalankan tugasnya setelah dilakukan serah terima dari kepengurusan periode sebelumnya;

c. Pengurus Cabang harus memberikan laporan kepada Pengurus Besar Tiap 4 (empat) bulan;

d. Ketua Umum Cabang bertanggungjawab pada Konferensi.



Pasal 30 : Rapat Presidium Pengurus Cabang

a. Rapat Presidium Pengurus Cabang berfungsi sebagai forum evaluasi dan perencanaan atas pelaksanaan amanah konferensi;

b. Rapat Presidium Pengurus Cabang minimal dilakukan tiap 4 (empat) bulan

c. Rapat Presidium Pengurus Cabang minimal dihadiri oleh Ketua Umum, Skeretrais Umum, Bendahara Umum, Ketua-Ketua Bidang, Ketua Koordinator Komisariat, Ketua Lembaga Khusus, dan Ketua Lembaga Kekaryaan.


BAGIAN III : KOMISARIAT



Pasal 31 : Status

a. Komisariat merupakan kesatuan organisasi pada suatu Perguruan Tinggi/Fakultas/Jurusan, atau beberapa Fakultas/Jurusan pada perguruan tinggi yang sama yang dibentuk oleh Pengurs Cabang;

b. Pendirian Komisariat dapat dilakukan sekurang-kurangnya harus ada 3 (tiga) anggota komisariat dengan status komisariat persiapan;

c. Komisariat persiapan menjadi komisariat penuh bila telah memenuhi 30 anggota yang telah mendapat bimbingan dari cabang.

d. Pendirian Komisariat dapat dilakukan oleh Anggota HMI yang sebelumnya telah masuk dalam satu komisariat tertentu dengan mengajukan permohonan kepada Pengurus Cabang untuk mendapat persetujuan serta pertimbangan komisariat tersebut.



Pasal 32 : Pengurus Komisariat:

a. Pengurus Komisariat adalah badan tertinggi dalam struktur kepimpinan HMI ditingkat Komisariat;

b. Pengurus Komisariat memiliki masa jabatan 1 (satu) tahun;

c. Pengurus Komisariat minimal terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara;

d. Pengurus Komisariat merupakan anggota biasa Komisariat.

f. Apabila Ketua Komisariat berhalangan tetap, dapat diangkat Pejabat Ketua Umum oleh Rapat Koordinasi Pengurus Komisariat.

Pasal 33 : Tugas dan Kewajiban

a. Pengurus Komisariat melaksanakan Keputusan-Keputusan Pengurus Cabang dan Ketetapan-Ketetapan Rapat Anggota

b. Pengurus Komisariat menjalankan tugasnya setelah dilakukan serah terima dari pengurus periode sebelumnya;

c. Pengurus Komisariat harus memberikan laporan kepada Pengurus Cabang tiap 4 (empat) bulan;

d. Ketua Umum Komisariat HMI sebagai pemimpin Pengurus Komisariat bertanggungjawab pda Rapat Anggota.



Pasal 34 : Rapat Presidium Pengurus Komisariat

a. Rapat presidium Pengurus Komisariat berfungsi sebagai forum evaluasi dan perencanaan atas pelaksanaan amanah Rapat Anggota;

b. Rapat presidium pengurus komisariat minimal dilakukan tiap 4 (empat) bulan

c. Rapat Presidium Pengurus Komisariat minimal dihadiri oleh Ketua, Sekretaris, Bendahara dan pengurus lainnya.


BAGIAN IV : PENGURUS HARIAN



A. KOMISI KEBIJAKAN



Pasal 35 : Status

a. Komisi kebijakan adalah bentuk Pengurus Harian dari Pengurus Besar;

b. Komisi kebijakan disusun oleh Formatur dan Mide Formatur dengan ketetapan Ketua Umum HMI;

c. Formasi Komisi Kebijakan adalah Ketua Komisi Kebijakan dan para anggota Komisi Kebijakan;



Pasal 36 : Tugas dan Kewajiban

a. Menetapkan kebijakan-kebijakan keorganisasian HMI;

b. Melakukan kerjasama-kerjasama organisasi dengan berbagai pihak;

c. Bertanggungjawab terhadap Ketua Umum HMI;



B. BIDANG KERJA



Pasal 37 : Status

a. Bidang Kerja adalah bentuk Pengurus Harian dari Pengurus Cabang;

b. Bidang Kerja disusun oleh Formatur dan Mide Formatur dengan ketetapan Ketua Umum Cabang HMI;

c. Formasi Bidang Kerja adalah Ketua Bidang dan para anggota Bidang.

Pasal 38 : Tugas dan Kewajiban

a. Membantu Ketua Umum dalam Menjalankan amanah Konferensi yang diberikan pada kepengurusan menurut bidang kerjanya;

b. Membantu Ketua Umum dalam menjalankan organisasi:

c. Bertanggungjawab terhadap Ketua Umum Cabang;



C. UNIT AKTIFITAS



Pasal 39 : Status

a. Unit Aktifitas adalah bentuk minimal Pengurus Harian dari Pengurus Komisariat;

b. Unit Aktifitas disusun oleh Formatur dan Mide Formatur dengan ketetapan Ketua Umum Komisariat HMI;

c. Formasi Unit Aktifitas adalah Ketua Unit Aktifitas dan para anggota Anggota Unit aktifitas;

d. Unit Aktifitas dapat dibentuk dalam bentuk Bidang kerja bagi komisariat yang sehat.



Pasal 40 : Tugas dan Kewajiban

a. Membantu Ketua Umum dalam menjalankan amanah Rapat Anggota yang diberikan pada kepengurusan;

b. Membantu Ketua Umum dalam menjalankan organisasi:

c. Bertanggungjawab terhadap Ketua Umum Komisariat;


BAGIAN V : LEMBAGA KOORDINASI

A. BADAN KOORDINASI



Pasal 41 : Status

a. Badan Koordinasi adalah Pengurus Besar yang mengkoordinir aktifitas internal HMI di beberapa cabang dalam satu wilayah tertentu;

b. Pembagian wilayah yang dikoordinir ditetapkan Ketua Umum HMI;



Pasal 42 : Struktur

a. Formasi Pengurus Badan Koordinasi sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara;

b. Pejabat Ketua Badan Koordinasi dapat diangkat oleh Ketua Umum HMI, jika Ketua Badan Koordinasi tersebut berhalangan tetap, dengan memperhatikan aspirasi Cabang-cabang;

c. Masa jabatan Pengurus Badan Koordinasi adalah 2 (dua) tahun;

Pasal 43 : Tugas dan Kewajiban

a. Memastikan pelaksanaan kebijakan-kebijakan Pengurus Besar oleh cabang-cabang diwilayah koordinasinya;

b. Menjalankan peran-peran HMI dicabang-cabang wilayahnya;

c. Membentuk Cabang baru di wilayah koordinasinya;

d. Melantik Pengurus Cabang di Wilayah Koordinasinya

e. Memberikan bimbingan, mengkoordinasikan, dan mengawasi kegiatan-kegiatan Cabang dalam wilayah koordinasinya;

f. Meminta laporan Cabang-Cabang dalam wilayah koordinasinya;

g. Bertanggungjawab terhadap Ketua Umum HMI;

h. Memberikan laporan kerja ke Musyawarah Badan Koordinasi;

i. Melaksanakan segala hal yang diputuskan di Musyawarah Daerah;



Pasal 44 : Musyawarah Badan Koordinasi

a. Musyawarah Badan Koordinasi adalah musyawarah utusan cabang-cabang di wilayah Badan Koordinasi yang diadakan 2 (dua) tahun sekali;

b. Kekuasaan dan wewenang Musyawarah Badan Koordinasi adalah memilih 3 (tiga) orang calon Ketua dan menentukan Haluan Kerja Badan Koordinasi;

c. Ketua Badan Koordinasi ditetapkan Ketua Umum Pengurus Besar HMI dari nama-nama calon yang diajukan Musyawarah Badan Koordinasi;

d. Jumlah utusan cabang di Musyawarah Badan Koordinasi sesuai pasal 16 j.







B. KOORDINATOR KOMISARIAT



Pasal 45 : Status

a. Koordinator Komisariat adalah Pengurus Cabang yang mengkoordinir Komisariat di 1 (satu) atau beberapa Perguruan Tinggi;

b. Pembagian komisariat yang dikoordinir ditetapkan Ketua Umum Cabang;



Pasal 46 : Struktur

a. Formasi Pengurus Koordinator Komisariat sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara;

b. Pejabat Ketua Koordinator Komisariat dapat diangkat oleh Ketua Umum Cabang HMI jika Ketua Koordinator Komisariat tersebut berhalangan tetap, dengan memperhatikan aspirasi komisariat- komisariat;

c. Masa jabatan Pengurus Koordinator Komisariat adalah 1 (satu) tahun.



Pasal 47 : Tugas dan Kewajiban

a. Membimbing dan membina Komisariat-Komisariat di lingkungannya;

b. Mengkoordinasikan dan mengawasi Komisariat dilingkungannya;

c. Memastikan pelaksanaan program kerja kepengurusan cabang di komisariat-komisariat lingkungannya;

d. Membantu pelaksanaan operasional program Kerja kepengurusan cabang untuk lingkungannya;

e. Bertanggungjawab terhadap Ketua Umum Cabang HMI;

f. Melaksanakan keputusan Musyawarah Koordinator Komisariat.



Pasal 48 : Musyawarah Koordinator Komisariat

a. Musyawarah Koordinator Komisariat adalah musyawarah utusan komisariat-komisariat di lingkungannya, yang diadakan 1 (satu) tahun sekali;

b. Memilih maksimal 3 (tiga) orang calon Ketua dan menentukan Garis Besar Program Kerja Koordinator Komisariat;

c. Ketua Koordinator Komisariat ditentukan oleh Ketua Umum Pengurus Cabang dari nama-nama calon yang diajukan Musyawarah Koordinator Komisariat;

d. Jumlah utusan Komisariat yang hadir pada Musyawarah Koordinator Komisariat disesuaikan dengan pasal 19 ayat j dengan ketentuan a = 30




BAGIAN VI : LEMBAGA KHUSUS



Pasal 49 : Status

a. Lembaga-lembaga Khusus HMI adalah bagian dari struktur pimpinan yang memiliki peran-peran khusus;

b. Lembaga-lembaga Khusus bersifat semi otonom;

c. Lembaga-lembaga Khusus HMI dibentuk oleh pimpinan HMI sesuai dengan kebutuhan;

d. Lembaga-lembaga Khusus HMI dapat berupa: Korp HMI-wati (Kohati), Korp Pengader (KP), dan Pusat Arsip dan lainya yang dibentuk Pengurus HMI.



Pasal 50 : Struktur

a. Formasi Pengurus Lembaga-lembaga Khusus HMI sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara;

b. Bila diperlukan, pada tingkat pusat dapat dibentuk Koordinator Nasional lembaga-lembaga khusus.



Pasal 51 : Tugas dan Kewajiban

a. Lembaga-lembaga Khusus bertugas melaksanakan program dan kewajiban-kewajiban HMI sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing;

b. Pengurus lembaga-lembaga khusus berkewajiban melaksanakan hasil Musyawarah lembaga Khusus;

c. Pimpinan Lembaga Khusus bertanggungjawab pada Struktur Kepemimpinan HMI dengan melaksanakan Laporan Pelaksanaan Tugas dalam lembaganya;

d. Lembaga Khusus memberikan laporan kerja kepada Struktur Kepemimpinan HMI minimal 2 (dua) kali selama satu periode dan/atau jika sewaktu-waktu bila diminta Struktur kepemimpinan.



Pasal 52 : Musyawarah

a. Status musyawarah Lembaga Khusus adalah merupakan forum kekuasaan tertinggi di internal lembaga khusus dengan tanpa bertentangan dengan ketetapan-ketetapan lembaga kekuasaan HMI ditingkatannya;

b. Musyawarah Lembaga khusus HMI berhak mengajukan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) calon Pimpinan Lembaga Khusus untuk ditetapkan oleh pimpinan HMI.


BAGIAN VII : LEMBAGA KEKARYAAN



Pasal 53 : Status

a. Lembaga Kekaryaan adalah bagian dari struktur pimpinan HMI yang memiliki peran kekaryaan;

b. Lembaga-lembaga kekaryaan bersifat semi otonom;

c. Lembaga-lembaga kekaryaan dibentuk bila ada aspirasi dan kebutuhan anggota, yang memiliki minat dan bakat di bidang yang sama;

d. Lembaga Kekaryaan memiliki spesifikasi bidang yang mengarah pada peningkatan keahlian dan profesionalitas tertentu.



Pasal 54 : Struktur

a. Formasi pengurus Lembaga-lembaga kekaryaan sekurang-kurangnya terdiri dari Direktur dan Staf Direktur;

b. Bila diperlukan, pada tingkat pusat dapat dibentuk Koordinator Nasional lembaga-lembaga kekaryaan.

Pasal 55 : Tugas dan Kewajiban

a. Lembaga-lembaga kekaryaan mempunyai tugas meningkatkan dan mengembangkan keahlian dan profesionalisme anggota HMI pada bidang tertentu dalam bentuk kerja kemanusiaan;

b. Pengurus lembaga-lembaga kekaryaan berkewajiban melaksanakan hasil Musyawarah lembaga kekaryaan;

c. Pimpinan lembaga-lembaga kekaryaan bertanggungjawab pada Struktur Kepemimpinan HMI dengan melaksanakan pertanggung-jawabannya pada Struktur Kekuasaan di tingkatannya;

d. Pengurus memberikan laporan kerja kepada pimpinan HMI minimal 2 (dua) kali selama satu periode;

e. Koordinator Nasional berperan dalam usaha mendorong keberhasilan pencapaian tujuan lembaga kekaryaan ditingkatan Cabang.



Pasal 56 : Musyawarah

a. Status musyawarah Lembaga-lembaga Kekaryaan adalah merupakan rapat anggota yang bertugas untuk merumuskan dan mengevaluasi program-program kerja lembaga-lembaga kekaryaan;

b. Musyawarah Lembaga Kekaryaan HMI berhak mengajukan satu atau beberapa calon pimpinan Lembaga Kekaryaan untuk ditetapkan oleh pimpinan HMI.


D. MAJELIS SYURO ORGANISASI (MSO)



Pasal 57 : Status

a. MSO berstatus sebagai Lembaga Konsultasi dan Lembaga Peradilan HMI;

b. Sidang MSO adalah Majelis yang terdiri dari sebagian besar anggota MSO;

c. Anggota MSO adalah anggota HMI yang telah menjadi Pengurus HMI maksimal 2 (dua) periode sebelumnya dengan jumlah maksimal 13 orang.



Pasal 58 : Struktur MSO terdiri dari Koordinator dan anggota MSO



Pasal 59 : Tugas dan kewajiban

a. Memberikan pertimbangan dan saran kepada struktur kepemimpinan HMI untuk menentukan kebijakan-kebijakan;

b. Memberikan keputusan atas konflik yang terjadi dalam struktur kepemimpinan HMI yang tidak bisa diselesaikan oleh ketua umum struktur kepemimpinan tersebut melalui proses persidangan;

c. Memberikan Laporan Pelaksanaan Tugas pada Struktur Kekuasaan.

d. MSO Pusat bertugas untuk menampung dan memberikan pertimbangan terhadap usulan amandemen dari struktur pimpinan HMI untuk diajukan ke Kongres.



Pasal 60 : Tata Kerja

a. Tata Kerja MSO diselenggarakan oleh Koordinator MSO;

b. Sebelum Koordinator MSO terpilih, sidang MSO pertama diselenggarakan dan dipimpin oleh struktur kepemimpinan;

c. MSO dapat membuat tim-tim kerja melalui keputusan sidang MSO yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota MSO;

d. MSO melaporkan pelaksanaan tugasnya pada struktur kekuasaan.


BAB III

KESEKRETARIATAN



Pasal 61 : Kesekretariatan memiliki fungsi dalam menjalankan sisitem keadministrasian, dan sistem keprotokoleran organisasi.



Pasal 62 : Sistem administrasi merupakan sistem organisasi dalam mengatur sirkulasi administrasi.

Pasal 63 : Sistem keprotokoleran merupakan sistem organisasi dalam mengatur prosedur aktifitas elemen-elemen organisasi.



Pasal 64 : Sekretariat berfungsi sebagai tempat domisili tiap Struktur kepemimpinan HMI yang berperan sebagai sentral koordinasi organisasi dan sarana aktifitas strukutur keorgansiasian serta alat interaksi lembaga dengan lingkungannya;


BAB IV

KEUANGAN



Pasal 65 : Sumber Keuangan Internal organisasi berasal dari Uang Pangkal dan Iuran yang diserahkan Anggota.



Pasal 66 : Uang pangkal diberikan Anggota kepada Pengurus Cabang saat ia mendaftarkan diri jadi Anggota HMI.



Pasal 67 : Iuran anggota diberikan Anggota kepada Pengurus Komisariat secara periodik selama ia menjadi Anggota HMI.

Pasal 68 : 20 (dua puluh) persen iuran anggota yang diterima pengurus Komisariat adalah hak milik dari Pengurus Cabang dan maksimal 20 (dua puluh) dari jumlah yang diterima Pengurus Cabang adalah hak milik Pengurus besar.



Pasal 69 : Tiap Struktur Kepemimpinan, Struktur Kekuasaan dan MSO berhak menerima dana dari pihak eksternal sesuai dengan pedoman yang berlaku.



Pasal 70 : Pengelolaan Keuangan pada Struktur Kekuasaan, Struktur Pimpinan dan MSO harus berdasarkan prinsip akuntabilitas dan keadilan.



71 : Seluruh kekayaan HMI akan diserahkan pada pihak yang akan ditunjuk oleh kongres saat pembubaran organisasi.



BAB IV

ATRIBUT ORGANISASI



Pasal 72 : Atribut-atribut Organisasi yang dipakai dalam operasional organisasi ditetapkan oleh Kongres.



Pasal 73 : Jenis-jenis Atribut organisasi HMI terdiri dari Lambang HMI, Bendera HMI, Baret HMI, Muts HMI, Selempang HMI, Himne HMI, dan Mars Hijau Hitam.



Pasal 74 : Lembaga Khusus dapat menentukan jenis dan bentuk atributnya tersendiri melalui Musyawarah Lembaga Khusus.



BAB V

ATURAN TAMBAHAN



Pasal 75 : Keputusan pembubaran HMI dilakukan di kongres dengan persetujuan minimal 2/3 utusan-utusan cabang.



Pasal 76 : Anggaran Rumah Tangga merupakan pedoman penjelas Aanggaran Dasar HMI yang kemudian diturunkan dalam pedoman-pedoman operasional berupa: Pedoman Keanggotaan, Pedoman Struktur Organisasi, Pedoman Kesekretariatan, Pedoman Keuangan, Pedoman Atribut, dan Pedoman Lembaga-lembaga yang ditetapkan di Kongres.

—————————————————————————————————-



-


















Komentar»

Senin, 03 Januari 2011

belum ADA JUDUL

Dengan remote ditangan, dengan kuasa penuh kita mencoba memilih berbagai saluran chanel yang paling kita sukai. Lagi-lagi kita memilih program hiburan lelucon yang tidak pernah memberi makna apa-apa pada kita selain kenyataan bahwa kebanyakan dari kita butuh kebahagiaan atau kurang bahagia. Inilah pola hidup yang umumnya dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia, tentunya yang mempunyai televisi.

Melihat kenyataan bahwa sekarang bulan februari Juli tahun 2010, kita masih melihat penuhnya berbagai saluran dengan berita paling popular, mulai dari kisah Century, KPK, sampai beredarnya video mirip ariel peter pan, luna maya, dan cut tari. Ini adalah masalah yang tak pernah usai, karena ada sebuah warisan sejarah yang terus mentradisi dalam tragedy seperti ini tetap dipertahankan.

“Salam sejarah, skandal pertama belumlah usai hingga kini, skandal kedua menyusul, amnesia seakan menjadi penyembuh, lagi dan lagi, sudah tidak terasa pedih”.

Dalam sejarah kemerdekaan, atau lahirnya negeri ini, telah diungkap oelh sejarah bahwa ditengah perjuangan melawan penjajah, ada penyusup oportunis mewarnai penyelenggaraan Negara yang masih amat rentan ini. Sekilas kita mungkin telah melihat bahwa adalah warisan dan bukanlah sebuah kebetulan jika akhirnya sebuah skandal atau tragedy seperti Century adalah penyakit Turunan. Para wakil pansus dari berbagai fraksi terlalu konsentrasi pada permainan tarik-ulur hasil akhir keputusan yang diambil Pansus ini. Partai besar berwarna biru pun kebakaran jenggot. Dengan nada mengancam akan memutuskan tali-tali cabinet fraksi partai yang bersangkutan jika nekad memberikan sebuah data dan fakta yang objektif. Karena saya sudah hapal dengan watak negeri ini, saya memprediksi, seperti sebelumnya, seperti bom Hiroshima, dan terjadi berulang, bom yang menyebarkan virus LUPA. Kita adalah negeri pelupa. Sebuah kewajaran jika banyak sejarawan yang makan hati karena catatan kritis mereka dianggap sesuatu yang asing dan tabu, padahal tidak lebih adalah sebuah fakta.

Dengan nada sinis dan sedikit egois, saya sampai detik ini tidak akan pernah menyebutkan bahwa argument saya adalah objektif. Karena segala kegiatan dari yang terencana maupun tidak terencana mempunyai tujuan, artinya tidak ada sebuah kegiatan apapun yang bebas nilai, bahkan kebebasan itu sendiri mempunyai nilai-nilai yang harus dipatuhi.

Ada apa dengan negeri ini? Apakah mereka sudah menggadaikan ingatan mereka demi sesuap nasi? Jika itu memang terjadi, saya anggap wajar. Namun saya merasai bahwa masyarakat Indonesia (seperti kata Pram) sedang mengalami pembusukan. Namun istilah saya adalah masyarakat yang sakit. Sedikit reflexi bersama teman-teman primitive saya, ketika saya berdiskusi mengenai bangsa yang sedang kehilangan identitas ini, banyak hal yang dianggap kurang pantas dilakukan oleh manusia rasional namun dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Saya, anda dan semua masyarakat Indonesia pasti merindukan sebuah Negeri yang Aman tenrtam, dan sejahtera. Namun untuk sebuah perubahan kecil saja, amat sempit kesempatan seperti itu.

Pola pikir manusia Indonesia hari ini telah terjungkirbalik.

Sabtu, 01 Januari 2011

Globalisasi dan kedaulatan negara

Oleh Arip Musthopa, SIP

Globalisasi dan kedaulatan negara kerapkali dibenturkan. Globalisasi dinilai sebagai kekuatan yang cenderung melemahkan kedaulatan negara. Dalam hal ini globalisasi dapat disalahkan namun juga ada yang membela habis-habisan. Tulisan ini tidak dalam posisi yang demikian karena baik kedaulatan dipegang oleh negara maupun oleh globalisasi, toh kedua-duanya dapat menimbulkan masalah bagi rakyat. Kedaulatan negara yang terlalu kuat diselenggarakan oleh pejabatnya bisa menyebabkan otoritarianisme, totalitarianisme, dan bahkan menjelma menjadi fasis. Globalisasi dapat menjadi kekuatan yang membebaskan rakyat dari totalitarianisme apabila globalisasi hadir untuk melemahkan negara. Globalisasi yang masuk ke dalam suatu negara dan melemahkan kedaulatannya sehingga masuk bebas kepada rakyat juga dapat menimbulkan masalah ketika rakyat tidak pernah siap menghadapinya. Jadi, kedua-duanya menuntut cost.

Berkaca dari pemahaman dasar tersebut, hubungan globalisasi dan kedaulatan negara tidak dapat dinilai hanya dari siapa melemahkan siapa atau siapa menghalangi siapa, melainkan harus dilihat dari sudut pandang yang lebih kompleks, yakni bagaimana hubungan saling mempengaruhi antara globalisasi dan negara bangsa. Disatu sisi, globalisasi telah menuntut redefinisi tentang negara-bangsa. Disisi lainnya, negara-bangsa telah memaksa globalisasi menjadi dilema yang tidak bisa diterima begitu saja. Tulisan ini mencoba mendiskusikan masalah tersebut dari sudut pandang yang lebih terbuka tersebut berdasarkan dua sumber tulisan yang akan dijadikan rujukan (dan akan dilihat titik-titik perbedaannya) yakni Stephen D. Krasner, Globalization and Sovereignty, dalam David A. Smith et al (eds.), States and Sovereignty in the Global Economy (London: Routledge, 1999) dan David Held, Democracy and The Global Order (Cambridge: Polity Press, 1995) khususnya Bab 5 dan 6, Democracy, The Nation State & Global Order I & II.
Krasner memulai pemaparannya dengan beranjak dari suatu asumsi bahwa

“….sovereignty is not being fundamentally transformed by globalization. Globalization has challenged the effectiveness of state control; although it is not evident that contemporary challenges are qualitatively different from those that existed in the past. Globalization has not, however, qualitatively altered state authority which has always been problematic and could never be taken for granted.”[1]

Dari kutipan di atas nampak jelas bahwa eksistensi dan kedaulatan negara-bangsa tidak berubah secara fundamental akibat globalisasi. Sebaliknya, eksistensi dan kedaulatan negara-bangsa (hanya) “challenged” (tertantang) oleh hadirnya globalisasi. Sejauh mana tantangan itu mempengaruhi kedaulatan negara bangsa ? Krasner coba menegaskan terlebih dahulu empat cara yang biasa digunakan yang merujuk pada term kedaulatan (sovereignty):

1. Interdependence Sovereignty has referred to the ability of a government to actually control activities within and across its borders (including the movement of goods, capital, ideas, and disease vectors)
2. Domestic sovereignty has referred to the organization of authority within a given polity.
3. Westphalian sovereignty has referred to the exclusion of external authority; the right of a government to be independent of external authority structures.
4. International legal sovereignty has referred to recognition of one state by another; some entities have been recognized by other states; others have not. Recognition has been associated with diplomatic immunity and the right to sign treaties and join international organizations.[2]

Dalam penjelasannya tentang kontrol negara terhadap aktivitas warganya di era globalisasi, Krasner menyatakan bahwa arus (perdagangan, modal, ide, dll) transnational bukanlah hal baru, yang terjadi hanyalah peningkatan di wilayah tertentu dan penurunan di wilayah lainnya. Krasner bahkan menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa globalisasi telah ‘systematically undermined state control’. Lengkapnya Krasner mengatakan :

“I do not want to claim that globalization has had no impact on state control. This would be fatuous. But challenges to state control as a result of transnational flows are not new. The problems for states have more acute in some areas, but less in others. There is no evidence that globalization has systematically undermined state control. Indeed, the clearest relationship between globalization and state activity is that they have increased hand in hand.”[3]

Jadi, menurut Krasner, globalisasi hanya meningkatkan saja intensitas ‘flows’ transnasional namun tidak menghadirkan sesuatu yang baru dalam masalah kontrol negara terhadap aktivitas transnasional tersebut. Dengan demikian, fenomena arus barang/jasa, modal, ide dan sebagainya yang intens karena globalisasi menurut Krasner bukanlah fenomena khas era, yang lazim disebut, globalisasi melainkan hal yang lazim terjadi berabad-abad yang lalu.
Istilah kedaulatan lebih dekat berasosiasi dengan kemapanan kewenangan politik domestik/dalam negeri. Hal ini tentu saja terkait dengan masalah legitimasi politik dan konstitusional yang memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur tertib sosial dan mengendalikan kehidupan warga masyarakatnya dalam rangka mencapai tujuan bernegara; sesuai dengan teori kontrak sosial klasik yang menyebutkan bahwa negara terbentuk karena warga negara tidak dapat mengatur dirinya sendiri dan menyerahkan urusan untuk mengatur mereka kepada negara. Apakah otoritas/kewenangan negara untuk urusan domestik ini mengalami pelemahan karena globalisasi ? Bagi Krasner jawabannya adalah;

“….The domestic organization of states structures has always been influenced by international trends wether this involved the formation of Protestant polities in the sixteenth century, of absolute monarchies in the seventeenth century, of the republics in the nineteenth century, or of fascist, communist, and now of democratic states in the twentieth century. There is no compelling indication that the level of the convergence is greater now than it has been in the past.
There is absolutely nothing new in the fact that the global spread of certain ideas has influenced the organization of domestic political authority.”[4]

Lagi-lagi Krasner menyatakan bahwa globalisasi tidak menghadirkan pengaruh yang baru terhadap struktur politik domestik. Kalaupun ada, hal tersebut adalah hal yang biasa terjadi sejak abad ke-16 masehi. Bagi Krasner, tidak ada indikasi yang berhasil dikumpulkan bahwa tingkat penyebaran ide-ide yang mempengaruhi struktur politik domestik saat ini lebih besar dari yang terjadi di masa lalu.
Pandangan Krasner yang cenderung melihat globalisasi tidak mengakibatkan “undermined” terhadap kedaulatan negara (state sovereignty) dari sisi kontrol aktivitas transnasional dan pengaruhnya terhadap struktur politik domestik, nampaknya konsisten dengan pandangannya tentang pengaruh globalisasi terhadap westphalian sovereignty berikut ini :
‘The argument that concerns for human rights are undermining the sovereign state system is historically myopic. Relations between rulers and ruled have always been subject to external scrutiny. Weaker states especially have never been free of interference from their more powerful neighbors. What has shifted is the specific focus of concern. From the middle of the seventeenth century to the first part of the nineteenth century, rulers were concerned with religius toleration. Beginning with The Treaty of Vienna and much more forcefully in a series of agreements associated with the Balkans in the nineteenth century and with the Versailles peace after the First World War, the primary focus of international attention was with ethnic minorities. After the second World War individual human rights received greater attention…”[5]

Kutipan di atas, lagi-lagi dengan mengajukan bukti-bukti sejarah, mencoba ingin menjelaskan bahwa apa yang disebutkan sejumlah penulis bahwa agenda globalisasi yang didalamnya mengangkat isu hak azasi manusia dapat melemahkan kedaulatan negara (exclusion of external authority) karena adanya sejumlah hak azasi manusia yang bertentangan dengan kedaulatan adalah sesuatu yang ‘historically myopic’. Sesuatu yang bias sejarah. Bagi Krasner, lagi-lagi, itu bukanlah sesuatu yang khas globalisasi karena sesungguhnya adalah perubahan isu yang menjadi ‘focus of concern’ saja dari toleransi beragama pada abad ke-19, isu etnis minoritas pada tahun-tahun pasca Perang Dunia I, dan pasca Perang Dunia II yakni isu hak azasi manusia. Krasner kemudian menegaskan:

“…Wether the issue was religious toleration, minority rights, or human rights sovereignty, understood as the exclusion of external authority, has constantly been challenged throughout the history of the modern state system.”[6]

“…Globalization –manifested in the widespread, although not universally accepted, emphasis on individual human rights – is not an historically unique breach in the armor of sovereignty. Rather it is but the most recent manifestation of the fact that the norm of non-intervention or the exclusion of external authority has always been challenged by alternative principles that legitimated international constraints on the domestic practices that governed relations between rulers and ruled.[7]

Isu hak azasi manusia yang dibawa globalisasi disebut Krasner ‘not an historically unique’ dan norma non intervensi atau ‘exclusion of external authority’, sama seperti pada masa-masa sebelumnya ‘has always been challenged by alternative principles’ yang itu dapat berupa toleransi beragama, hak-hak etnis minoritas, ataupun hak azasi manusia sebagaimana cukup gencar di era globalisasi ini khususnya pasca Perang Dunia II.
Akhirnya, bagaimanakah pandangan Krasner tentang pengaruh globalisasi terhadap masalah ‘international legal sovereignty’ ?

“…National as well as international law is based on mutual recognition. Recognition provides an easily observed sign that an actor can enter into international accords.
“If anything, globalization has made international legal sovereignty more important. The number of international agreements and organizations has proliferated in the last few decades. Many of these represent efforts to captures the benefits of globalization and compensate for the loss of national control by establishing new coordinating and regulatory mechanisms at the international level.”[8]

Kemudian Krasner menyimpulkan bahwa,

“…Globalization has enhanced the incentive to reach agreements in some areas because unilateral control is more difficult. Viewed from the perspective of international law, however, these agreements enhance rather than undermine sovereignty. Indeed, the agreements would be impossible in the first place if states did not mutually recognize their capacity to enter into them.”[9]

Globalisasi dengan international law-nya bukannya melemahkan kedaulatan negara melainkan justru menegaskan bahwa 'international legal sovereignty’ lebih penting dari masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena ‘international law’ tidak mungkin dibuat tanpa ‘recognition’ dari negara-bangsa karena prinsip ‘international law’ sama dengan ‘national law’ yakni ‘mutual recognition’. Globalisasi telah mendorong suatu “incentive” bagi upaya melahirkan persetujuan-persetujuan internasional. Dengan demikian, globalisasi bukannya “undermine” terhadap kedaulatan negara melainkan “enhance it”.
Setelah menyimak pokok-pokok pemikiran yang diangkat oleh Krasner di atas, nampak jelas posisi Krasner yang melihat globalisasi bukan sebagai era dimana ia disebut ‘era globalisasi’ melainkan pada apa yang terjadi di era globalisasi ini. Dari perspektif itulah dan dengan rujukan kekayaan sejarah yang diangkatnya, Krasner menilai bahwa apa yang terjadi terhadap empat pengertian tentang kedaulatan negara di era globalisasi ini sesungguhnya pada dasarnya atau pada karakteristik utamanya merupakan kelanjutan saja dari apa yang terjadi pada abad-abad sebelumnya, dan bahkan berabad-abad sebelum ‘era globalisasi’ disebutkan orang-orang.
Sehingga berbagai anasir yang disebutkan dapat mengancam paham dan eksistensi kedaulatan negara dengan unsur pokoknya menyangkut kontrol, otoritas domestik, westphalian sovereignty, dan hukum internasional adalah sesuatu yang cenderung biasa karena hal tersebut bukanlah hal baru. Krasner ingin mengatakan bahwa berbagai hal tersebut telah sejak dahulu kala ada dan menantang paham kedaulatan negara. Kemudian sejarah membuktikan bahwa tantangan tersebut telah berhasil dilewati oleh paham kedaulatan negara.
Hingga saat ini dan selanjutnya paham kedaulatan negara sebagai sesuatu yang universal akan terus eksis walaupun globalisasi semakin nyata, itulah yang juga ingin disampaikan oleh Krasner ketika di akhir tulisannya ia mengatakan,

“…Globalization has highlighted some tensions between norms and behavior, but there is no evidence that this is leading to some transformation of the international system.”[10]


Negara Bangsa dan Tertib Global

Mencermati tulisan Krasner di atas, maka nampak nuansa (kedaulatan) negara bangsa sebagai sesuatu yang “untouchable”, walaupun oleh suatu makhluk yang bernama ‘globalisasi’ yang kerapkali digambarkan oleh orang-orang sebagai sesuatu yang hebat dan dahsyat. Dengan keyakinan demikian, Krasner menyampaikan gagasannya dari sudut pandang ‘superioritas’ negara-bangsa. Nuansa yang berbeda, kalaupun bukannya sebaliknya, kita temukan pada tulisan David Held yang berikut ini akan kami angkat pokok-pokoknya.
Tulisan David Held beranjak dari titik tolak gagasan bahwa,
“The contemporary nature and scope of the sovereign authority of nation-states can be mapped by looking at a number of ‘internal’ and ‘external’ disjunctures between, on the one hand, the formal domain of political authority they claim for themselves and, on the other, the actual practices and structures of the states and economic system at the national, regional, and global levels.[11]

Pada intinya David Held ingin melihat cakupan dan pengertian kontemporer tentang kedaulatan negara berdasarkan rentangan ketegangan (disjuncture) antara aspek normatif dan aspek praktis baik secara internal maupun eksternal. Kedaulatan negara sendiri menurut Held adalah “the political authority within community which has the acknowledged right to exercise the powers of the state and to determine the rules, regulations and policies within a given territory.[12]
Disjunctures tersebut menurut Held ada lima konteks yaitu hukum internasional (international law), internasionalisasi penentuan kebijakan politik (internationalization of political decision-making), kekuatan hegemonik dan struktur keamanan internasional (hegemonic powers and international security structures), identitas nasional dan globalisasi budaya (national identity and globalization of cultures), dan ekonomi dunia (the world economy). Berikut kami paparkan pokok-pokok pikiran yang dikembangkan Held dalam lima disjunctures tersebut.

“Throughout the nineteenth century, international law was conceived, as noted earlier, as a law between states; states were its subjects and individuals its objects. The exclusion of the individual from the provisions of international law has been challenged and undermined in the twentieth century.”[13]

Kutipan di atas, menjelaskan bahwa pada abad ke-20 ini telah terjadi perubahan penting dalam hukum internasional ketika hukum internasional mengadopsi dan melindungi hak-hak individu melalui United Nation’s Universal Declaration of Human Rights (1948) dan Covenant on Rights (1966). Kondisi ini berbeda dengan abad ke-19 yang menempatkan individu sebagai obyek, bukan subyek hukum sebagaimana negara ditempatkan. Perubahan penting tersebut kemudian berdampak pada upaya peninjauan terhadap hukum internasional yang didasarkan semata pada prinsip state sovereignty. Upaya peninjauan bahkan sudah pada tingkat ‘against’ (melawan) the doctrine that international law is and should be a ‘law between states only and exclusively’.

“Traditionally, international law has identified and upheld the idea of a society of sovereign states as ‘the supreme normative principle’ of the political organization of humankind. In recent decades, the subject, scope, and source of international law have all been contested; and opinion has shifted against the doctrine that international law is and should be a ‘law between states only and exclusively’.”[14]

Globalisasi juga telah memaksakan (disjuncture) internasionalisasi pembuatan kebijakan politik yang digambarkan oleh Held berikut ini,

“The development of international regimes and international organizations has led to important changes in the decision-making structure of world politics. New forms of multilateral and multinational politics have been established and with them distinctive styles of collective decision-making involving governments, IGOs and a wide variety transnational pressure groups and international non-governmental organization (INGOs).”[15]

Kedaulatan dan otonomi negara bahkan dibawah tekanan (underpressure) organisasi ekonomi global serta politik dan aktivitas yang digerakkan oleh organisasi atau badan-badan regional maupun internasional. Held menulis,

“Although the challenge to national sovereignty has perhaps been more clearly debated within the countries of the European Union than in any other region of the world, sovereignty and autonomy are under severe pressure in many places. They are underpressure from a confluence of constraints imposed, on the one hand, by the structure of the international system, particularly by the organization of the global economy and, on the other hand, by policies and activites by leading agencies and organizations, both regional and international.”[16]

Globalisasi juga turut memfasilitasi hadirnya disjuncture kekuatan yang hegemonik dan struktur keamanan internasional. Berkaca pada munculnya Blok Pakta Warsawa dan NATO, meski kini Pakta Warsawa telah bubar, kehadiran blok-blok kekuatan idelogi, politik, dan militer tersebut terkadang dalam operasinya memotong integritas dan otoritas negara anggotanya demi kepentingan bersama blok kekuatan tersebut. Held menggambarkannya sebagai berikut,

“There is an additional disjuncture involving the idea of the state as an autonomous strategic, military actor, and the development of the global system of states, characterized by the existence of great powers and power blocs, which sometimes operates to undercut a state’s authority and integrity.”[17]

Kedaulatan dan otonomi negara anggota blok (NATO misalnya) adalah sesuatu yang dapat dinegosiasikan, jadi kedaulatan negara dalam hal ini tidak berlaku mutlak;
Accordingly, aspects of state sovereignty and autonomy are negotiated and renegotiated through the NATO alliance.[18]

Disjuncture berikutnya tentang identitas nasional dan budaya global. Bagi Held memahami disjuncture ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi terutama teknologi telekomunikasi (dan transportasi) yang memungkinkan individu-individu dari berbagai belahan dunia saling mengetahui, menyaksikan, dan berkomunikasi satu sama lain. Hal inilah yang membuka kemungkinan cara pandang ataupun mekanisme baru dalam melakukan proses pengidentifikasian budaya maupun perilaku individu. Individu-individu seolah ditawarkan alternatif-alternatif dari apa yang selama ini telah mereka pegang dan jadikan kebiasaan. Kecenderungan ini dapat mengarah kepada ‘global culture’ (budaya global) dan melemahkan budaya nasional (lokal). Held mengatakan,

“Nonetheless, the growth of global communications, above all of television, video and film, gives people new ways of ‘seeing and participating’ in global developments. In principle, this opens up the possibility of new mechanism of identification.”[19]

“The globalization of the media involves a complicated set of processes which have implications for the ordering of political identities at many levels…..These processes can weaken the cultural hegemony of nation-states and restimulate the ethnic and cultural groups which compose them. And as nation-states are weakened, growing pressure for local and regional autonomy cannot be rulled out; thus, old political-cultural identities may well be challenged across the world both from above and from below.”[20]

Terakhir, disjuncture ekonomi global bagi Held harus diawali dengan memahami peranan perusahaan multinasional dalam proses internasionalisasi produksi dan internasionalisasi transaksi finansial.

“…Two aspects of international economic processes are central: the internationalization of production and the internationalization of financial transactions, organized in part by multinational companies (MNCs).”[21]

Internasionalisasi produksi dan transaksi finansial mengakibatkan,

“However, the internationalization of production, finance, and other economic resources is unquestionably eroding the capacity of an individual state to control its own economic future.”[22]
“Thus, at the very latest, it can be said that there appears to be a diminution of state autonomy in the sphere of economic policy and a gap between the idea of a political community determining its own future and the dynamics of the contemporary world economy.”[23]

Perkembangan ekonomi dunia menurut Held telah menurunkan kemampuan negara melakukan kontrol atas masa depan ekonominya dan juga kesenjangan antara ide yang dimiliki para pengambil kebijakan negara dengan dinamika kontemporer ekonomi dunia.

Penutup
Disjuncture yang dipaparkan oleh Held di atas sangat menarik dan secara diametral berbeda dengan apa yang dipaparkan oleh Krasner sebagaimana telah kita bicarakan di atas. Krasner bersikeras ingin membuktikan bahwa globalisasi merupakan fenomena biasa saja secara substansial dan historis, walaupun dalam beberapa hal secara intensitas menyebabkan peningkatan (dan tidak ada peningkatan dalam hal lainnya) dalam pengaruhnya terhadap kedaulatan negara-bangsa. Sedangkan Held ingin coba membuktikan melalui lima disjuncture di atas bahwa globalisasi menyebabkan kedaulatan negara bangsa mengalami erosi dan hal ini merupakan fenomena khas yang ditimbulkan oleh globalisasi. Pandangan Held secara padat dapat ditangkap dari kutipan berikut ini,

“The evidence that international and transnational relation have eroded the powers of the modern sovereign state is certainly strong. Global processes have moved politics a long way from activity which simply crystallizes first and foremost around state and inter-state concerns.”[24]

Pandangan yang berbeda antara Krasner dan Held membuktikan bahwa perdebatan tentang globalisasi beserta dampaknya terhadap ‘nation state’ merupakan perdebatan yang menarik dan tidak dapat disederhanakan dalam hubungan yang siapa melemahkan siapa atau siapa yang menghalangi siapa. Perdebatan tentang globalisasi dan ‘nation state’ akan lebih produktif apabila kerangka pemahaman yang dijadikan titik tolak ulasan adalah sama. Nampaknya Held beranjak dari fakta-fakta yang berada dalam suatu kotak yang bernama ‘era globalisasi’ dan coba menunjukkan bahwa apa yang terdapat dalam kotak tersebut melemahkan atau mengerosi kedaulatan negara-bangsa. Sedangkan Krasner justru tidak melihat globalisasi sebagai suatu era yang dimulai ketika orang mengenal istilah ‘globalisasi’ tetapi ia melihat ide, tindakan dan fakta-fakta yang bernuansa transnasional dan internasional yang itu melampaui batas-batas ‘era globalisasi’; dan kemudian Krasner seolah ingin mengatakan, “kenapa anda harus heran dan mengkhawatirkan kedaulatan negara-bangsa karena adanya globalisasi, bukankah itu biasa? Bukankah state sovereignty telah bisa menghadapi hal-hal semacam itu ?”.

Latar belakang dan sejarah berdirinya HMI

Kalau ditinjau secara umum ada 4 (empat) permasalahan yang menjadi latar belakang sejarah berdirinya HMI.
Situasi Dunia Internasional.
Berbagai argumen telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran ummat Islam. Tetapi hanya satu hal yang mendekati kebenaran, yaitu bahwa kemunduran ummat Islam diawali dengan kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Yang jelas ketika ummat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula kemunduran menghinggapi kita.
Akibat dari keterbelakangan ummat Islam , maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut Gerakan Pembaharuan. Gerakan Pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan Pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadist Rassullulah SAW.
Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka Gerakan Pem-baharuan di dunia Islam bermunculan, seperti di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787), Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain.
Situasi NKRI
Tahun 1596 Cornrlis de Houtman mendarat di Banten. Maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah Belanda. Imprealisme Barat selama ± 350 tahun membawa paling tidak 3 (tiga) hal :
• Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya.
• Missi dan Zending agama Kristiani.
• Peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme.
Setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya.
Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia
Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : Pertama : Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran. Kedua : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja. Keempat : Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.
Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan
Ada dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri. Pertama: sisitem yang diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah sistem pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang “mendangkalkan agama disetiap aspek kehidupan manusia”. Kedua : adanya Perserikatan MAHASISWA Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Bergabungnya dua faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan Kemahsiswaan, menyebabkan timbulnya “Krisis Keseimbangan” yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Beliau adalah anak seorang Sutan Pangurabaan Pane –tokoh pergerakan nasional “serba komplit” dari Sipirok, Tapanuli Selatan-. Lafaran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran sejati. Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak sekolah yang rajin” adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling menonjol dari Independensinya. Sebagai figur pencarai sejati, independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan “Normal” dan “lurus” itu (-Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah-) ; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.
Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan kapan saja.
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat”
Namun demikian, secara keseluruhan Latar Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya HMI dapat dipaparkan secara garis besar karena faktor, sebagai berikut :
1. Penjajahan Belanda atas Indonesia dan Tuntutan Perang Kemerdekaan
 Aspek Politik : Indonesia menjadi objek jajahan Belanda
 Aspek Pemerintahan : Indonesia berada di bawah pemerintahan kerajaan Belanda
 Aspek Hukum : Hukum berlaku diskriminatif
 Aspek pendidikan : Proses pendidikan sangat dikendalikan oleh Belanda.
- Ordonansi guru
- Ordonansi sekolah liar
 Aspek ekonomi : Bangsa Indonesia berada dalam kondisi ekonomi lemah
 Aspek kebudayaan : masuk dan berkembangnya kebudayaan yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia
 Aspek Hubungan keagamaan : Masuk dan berkembagnya Agama Kristen di Indonesia, dan Umat Islam mengalami kemunduran
2. Adanya Kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan ajaran islam
3. Kebutuhan akan pemahaman dan penghayatan Keagamaan
4. Munculnya polarisasi politik
5. Berkembangnya fajam dan Ajaran komunis
6. Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
7. Kemajemukan Bangsa Indonesia
8. tuntutan Modernisasi dan tantangan masa depan
Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947
Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan “Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan”
Lafran Pane mendirikan HMI bersama 14 orang mahasiswa STI lannya, tanpa campur tangan pihak luar.
Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:
1. Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :
1. Lafran Pane (Yogya),
2. Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),
3. Dahlan Husein (Palembang),
4. Siti Zainah (istri Dahlan Husein-Palembang)
5. Maisaroh Hilal (Cucu KH.A.Dahlan-Singapura),
6. Soewali (Jember),
7. Yusdi Ghozali (Juga pendiri PII-Semarang),
8. Mansyur,
9. M. Anwar (Malang),
10. Hasan Basri (Surakarta),
11. Marwan (Bengkulu),
12. Zulkarnaen (Bengkulu),
13. Tayeb Razak (Jakarta),
14. Toha Mashudi (Malang),
15. Bidron Hadi (Yogyakarta).
Faktor Pendukung Berdirinya HMI
1. Posisi dan arti kota Yogyakarta
a. Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan
b. Pusat Gerakan Islam
c. Kota Universitas/ Kota Pelajar
d. Pusat Kebudayaan
e. Terletak di Central of Java
2. Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa
3. Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia
4. Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi)
5. Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik).
6. Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir
7. Ummat Islam Indonesia mayoritas
Faktor Penghambat Berdirinya HMI
Munculnya reaksi-reaksi dari :
1. Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
2. Gerakan Pemuda Islam (GPII)
3. Pelajar Islam Indonesia (PII)
FASE-FASE PERKEMBANGAN SEJARAH HMI
1. Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)
Sudah diterangkan diatas
2. Fase Pengokohan (5 Februari 1947 – 30 November 1947)
Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.
3. Fase Perjuangan Bersenjata (1947 – 1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun \’64-\’65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.
4. Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
5. Fase Tantangan (1964 – 1965)
Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.
Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.
6. Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 – 1968)
HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari\’ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.
7. Fase Pembangunan (1969 – 1970)
Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya :
1) Partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan,
2) Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran
3) Partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.
8. Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 – 1998 )
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu.
Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 dimana secara relatif masalah-masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara dilain sisi persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.
Pada tahun 1970 Nurcholis Madjid menyampaikan ide pembaharuan dengan topic keharusan pembaharuan didalam pemikiran Islam dan masalah integritas umat. Sebagai konsekuensinya di HMI timbul pergolakan pemikiran dalam berbagai substansi permasalahan yang. Perbedaan pendapat dan penafsiran menjadi dinamika di dalam menginterpretasikan dinamika persoalan kebangsaan dan keumatan. Hal ini misalnya dalam dialektika dan perbincangan seputar Negara dan Islam, konsep Negara Islam, persoalan Islam Kaffah sampai pada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila sebagai bentuk ijtihad organisasi didalam mempertahankan cita-cita jangka panjang keummatan dan kebangsaan.
9. Fase Reformasi
Secara histories sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan kritik terhadap pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif. Gerakan koreksi pemerintahanpertama disampaikan pada jaman konggres XX HMI di Istana Negara tanggal 21 Januari 1995. kemudian peringatan MILAD HMI Ke 50 Saudara Ketua Umum Taufiq Hidayat menegaskan dan menjawab kritik-kritik yang menyebutkan bahwa HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI kekuasaan bukanlah wilayah yang haram. Tetapi adalah wilayah pencermatan dan kekritisan terhadap pemerintahan. Kemudian dalam penyampaian Anas Urbaningrun pada MILAD HMI ke 51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Pebruari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat”.
MASA DEPAN HMI TANTANGAN DAN PELUANG
Kritik terhadap HMI datang dari dalam dan dari luar HMI. Kritik ini sangat positif karena dengan demikian HMI akam mengetahui kekurangan dan kelebihan organisasi. Sehingga kedepan kita mampu memperbaiki dan menentukan sikap dan kebijakan yang sesuai dengan keadaan jaman.
Dari masa kemasa, beberapa persoalan yang dihadapkan pada HMI tentang kritik independensi HMI, kedekatan dengan militer, sikap HMI terhadap komunisme, tuntutan Negara Islam, dukungan terhadap rehabilitasi masyumi, penerimaan azas tunggal Pancasila, adaptasi rasionalitas pemikiran, dan lain-lain yang memberikan penilaian kemunduran terhadap HMI, Yahya Muhaimin dalam konggres HMI ke XX mengemukakan konsep tentang revitalisasi, reaktualisasi, refungsionalisasi, dan restrukturisasi organisasi. Anas Urbaningrum menjawabnya dengan pemberian wacana politik etis HMI. Yakni dengan langkah : Peningkatan visi HMI, intelektualisasi, penguasaan basis dan modernisasi organisasi.
Untuk pencapaian tujuan HMI perlu dipersiapkan kondisi yang tepat sebagai modal untuk merekayasa masa depan sesuai dengan 5 kualitas insan cita HMI. Tantangan yang dihadapi HMI dan masa depan bangsa Indonesia sangat komplek. Tetapi justeru akan menjadi peluang yang sangat baik untuk memperjuangkan cita-cita HMI sampai mencapai tujuan.
PENUTUP
Dengan mengetahui sejarah masa lampau dapat diketahui kebesaran dan semangat juang HMI. Hal tersebut merupakan tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan para pendahulunya pada masa kini dan menuju hari esok yang lebih baik. Mempelajari HMI tidak hanya cukup dengan mengikuti training formal. Mempelajari dan menghayati HMI harus dilakukan secara terus menerus tanpa batas kapan dan dimanapun. Dengan cara seperti itulah pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai HMI dapat dilakukan secata utuh dan benar.
Yakin usaha sampai bahagia hmi.