hmi komisariat kelautan

hmi komisariat kelautan

Minggu, 17 April 2011

Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam

1.Pendahuluan

Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas serta dikaitkan dengan permasalahan yang penulis akan jelajahi, maka penulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan pertimbangan bahwa latar belakang pendidikan penulis adalah ilmu pengetahuan alam (MIPA – Kimia).

2. Pengertian Filsafat

Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.

Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).

Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.

3. Filsafat Ilmu

Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.

Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.

Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
4. Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Alam
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam. Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.
Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam. Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam.
Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah, sebagaimana spontan disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya.
Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat.
Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).
Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.
Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.
Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi efinisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).
Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.

5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa filsafat ilmu sangatlah tepat dijadikan landasan pengembangan ilmu khususnya ilmu pengetahuan alam karena kenyataanya, filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan alam.

Jumat, 01 April 2011

METAFISIKA DAN PENGAKUAN KEBEBALAN

BAGIAN SATU: AKAR


Pekan I Wawasan: Membenahi Kehidupan

1. Apakah Filsafat Itu?

Saudara-saudara, apakah filsafat itu? Saya awali kuliah ini dengan meminta anda menjawabnya.

"Bodoh," mungkin anda pikir, "kami menempuh matakuliah ini karena tidak tahu apakah filsafat itu, jadi mengapa anda mengharap kami menjawab pertanyaan yang mendasar seperti itu pada menit-menit pertama kita?"

Percayalah! Sepuluh atau limabelas menit pertama yang kita sita untuk menjawab pertanyaan tersebut akan menjadi awal yang baik demi pemahaman kita tentang apakah filsafat itu. Sekarang, jika benak anda kosong, cobalah berpikir mengenai apa yang sedang kita lakukan saat ini. Apa yang sedang kita kerjakan pada detik ini yang berbeda dengan yang kita perbuat di matakuliah lain?

Mahasiswa. "Hmm."

Ayo, siapa yang ingin menjadi orang pertama? Jangan malu! … Tahukah kalian, ketika pertama kali saya ajarkan kuliah ini, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya memperoleh nilai "A"! Kini, siapa yang suka menjadi orang pertama?

Mahasiswa A. "Berpikir. Kita sedang berpikir. Apakah filsafat itu tentang berpikir?"

Ya. Memang itulah tugas pokok filsuf. Omong-omong, ketika saya mengajar kuliah ini untuk kedua kalinya, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya mendapatkan nilai "D". Jadi, jangan harap nilai "A" itu mudah! Sesungguhnya, kita sering berpikir dengan cara yang tidak "filosofis". Jadi, apa perbedaan antara berpikir secara filosofis dan berpikir secara lain?

Mahasiswa B. "Filsafat itu abstrak. Tidak ada jawaban yang pasti. Setiap orang punya ide sendiri-sendiri tentang persoalan filosofis, dan tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran yang mutlak."

Itu pandangan yang sangat umum. Banyak argumen filosofis yang memang abstrak, namun bukankah benar pula bahwa filsafat kadang-kadang sangat konkret dan juga praktis? Bahkan, saya lebih cenderung mengatakan: jawaban yang terang terhadap sebagian besar pertanyaan filosofis terlalu banyak. Namun biarlah kami nyatakan sendiri, anda telah mendapatkan suatu ciri khas persoalan filosofis yang membedakannya dari kebanyakan perburuan intelektual lainnya. Tidak peduli berapa kali pertanyaan terjawab, kelihatannya selalu ada sesuatu yang masih misterius. Karenanya, pada pandang pertama, filsafat menjadi sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan.

Namun demikian, mari kita amati terus apa yang kita lakukan saat ini, dan kita mencoba menangkap pertanda yang lebih jitu tentang alam filsafat. Beberapa filsuf mengutarakan bahwa dalam filsafat, sebagaimana dalam kehidupan kita sendiri, "kita membangun perahu di tempat kita mengapungkannya." Lantas, apa yang — ya?

Mahasiswa C. "Pertanyaan dan jawaban. Apakah filsafat ada hubungannya dengan pertanyaan dan jawaban?"

Tentu saja. Pada kenyataannya, unsur-unsur filsafat dan bahkan aliran-aliran filsafat yang berlainan bisa dibedakan dengan memperhatikan perbedaan tipe pertanyaan yang diajukan. Akan tetapi, semua disiplin akademis pun menghajatkan pertanyaan dan jawaban. Jadi, apa yang membedakan pertanyaan filosofis dari tipe-tipe lainnya? Apa yang saya upayakan saat ini dengan meminta anda memikirkan pertanyaan “Apakah filsafat itu?”, dan mengapa saya tidak puas dengan jawaban yang sederhana, seperti "filsafat adalah berpikir"?

Mahasiswa D. "Karena anda berusaha membujuk kami untuk melihat hal-hal yang terdapat di bawah permukaan. Kita semua tahu bahwa para filsuf banyak berpikir, tetapi anda berupaya mendorong kami untuk menatap makna yang lebih dalam."

Tepat. Alasan mengapa pertanyaan yang diajukan dalam kebanyakan disiplin akademis lain dapat dijawab dengan lebih pasti ialah karena jawaban non-filosofis biasanya hanya mempedulikan permukaan. Para filsuf, sekurang-kurangnya filsuf yang baik, tidak puas sampai mereka menggali sedalam-dalamnya persoalan yang mereka ajukan sendiri. Kadang-kadang, gagasan filosofis sulit dipahami bukan karena terlalu abstrak, terlampau melayang jauh dari kehidupan kita sehari-hari, melainkan justru karena teramat konkret! Filsafat ada kalanya menyentuh sedemikian-dalam hal-hal yang tak terpahami oleh kita karena obyek pembahasan itu terlalu dekat dengan kehidupan kita. Pernahkah anda mencoba melihat mata kanan anda dengan mata kiri anda?

Mahasiswa E. "Bisakah anda memberi kami satu contoh pertanyaan yang filosofis?"

Bisa, bahkan lebih dari satu. Saya akan mengemukakan empat contoh pertanyaan yang diajukan oleh filsuf-filsuf yang baik. Secara demikian, saya mengantarkan anda ke sesuatu yang saya yakini sebagai empat unsur utama dalam bidang filsafat. Dua unsur awal bersifat teoretis. Unsur pertama ialah metafisika; pertanyaan yang menetapkan tugas metafisika adalah "Apa yang pada hakikatnya nyata?". Memeriksa jawaban atas pertanyaan ini merupakan kewajiban kita dalam Bagian Satu matakuliah ini. Bagian Dua berkenaan dengan unsur kedua, logika; penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai "Bagaimana kita memahami makna kata-kata?"

Dua unsur akhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat disebut "filsafat terapan". Nah, penerapan kata-kata bermakna itu mestinya menimbulkan pengetahuan; kata Inggris "science" berasal dari kata Latin sciens yang berarti "mengetahui", sehingga kita bisa menamakan unsur ketiga ini science (ilmu),[1] asalkan kita ingat bahwa kita menggunakan kata ini bukan seperti yang biasanya dimengerti dalam bahasa sehari-hari. Pertanyaan filosofis mengenai ilmu adalah "Di manakah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan kebebalan?". Unsur keempat ialah ontologi, yang mengajukan pertanyaan "Apa maksud keberadaannya?" Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan pahaman kita tentang sifat dasar berbagai benda (umpamanya, Tuhan, manusia, hewan), atau tipe pengalaman yang berlainan (contohnya, keindahan, cinta, kematian).

Pada matakuliah ini kita berkesempatan untuk mencari jawaban atas keempat pertanyaan tersebut, sehingga memperhatikan hubungan masing-masing sebagai satu keseluruhan bisa bermanfaat. Untuk mengungkap pandangan-pandangan dalam bentuk yang sederhana, namun sistematis, salah satu alat-bantu pengajaran kegemaran saya, seperti yang akan segera anda jumpai, adalah diagram-diagram—terutama salib, segitiga, dan lingkaran. Pada Pekan V, kita akan melihat bahwa semua diagram [di buku ini] dibangun menurut pola logis tertentu. Akan tetapi, untuk saat ini, kita hanya memperlakukannya sebagai seperangkat cara yang mudah untuk melihat pertalian antara rangkaian istilah-istilah tersebut. Mari kita manfaatkan sepotong salib sebagai sejenis "peta" untuk matakuliah kita dengan menempatkan keempat unsur filsafat pada keempat ujungnya, sebagaimana tergambar di bawah ini:

IV. ontologi:

Apa maksud

keberadaannya?

filsafat

praktis

III. ilmu: I. metafisika

Di mana garis Apa yang pada

batas pengetahuan? hakikatnya nyata?

filsafat

teoretis

II. logika:

Bagaimana kita memahami

makna kata-kata?

Gambar I.1: Empat Unsur Filsafat

Tentu saja, kita akan mengajukan banyak pertanyaan filosofis lain pada kuliah-kuliah [di buku] ini, tetapi sifat fundamental keempat persoalan tersebut perlu diakui.

Mahasiswa F. "Hari ini anda beberapa kali mengacu pada 'filsuf yang baik'. Kedengarannya agak gegabah. Apakah anda menyiratkan bahwa ada 'filsuf yang buruk'? Apakah anda berhak menghakimi pendapat orang lain sebagai baik atau buruk? Betapapun juga, setiap orang memiliki hak atas pendapat mereka sendiri!"

Ya, memang benar. Akan tetapi, perbedaan antara filsuf yang baik dan yang buruk tidak berkaitan dengan "opini". Ini mengenai penalaran. Nalar memungkinkan kita untuk membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi tanpa perlu menghujat. Maka, saya berujar: memang ada filsuf yang buruk. Pada kenyataannya, tampaknya sayangnya seakan-akan filsuf yang buruk lebih banyak daripada yang baik. Jadi, jangan terkejut bila anda menyimak saya mengucapkan kata-kata sedemikian itu pada kuliah-kuliah kita ini. Namun demikian, saya harap anda tidak merasa terhina. Kata "baik" dan "buruk" di sini tidak dimaksudkan sebagai penilaian moral. Bahkan, bagi saya istilah-istilah ini mengacu pada filsuf-filsuf yang menyandang tugas filsafat dengan cara yang seimbang, yang berlawanan dengan mereka yang percaya bahwa bidang perhatian filsafat yang sebenarnya itu sangat sempit atau sangat luas. Biar saya perjelas lagi, apa yang saya maksud dengan pembedaan ini.

Ada tiga arah pemahaman tugas filsafat. Yang pertama memandang tugas filsafat sebagai penggunaan pemikiran logis untuk memecahkan masalah-masalah yang sukar, melalui penjernihan konsep-konsep kita. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "filsafat analitik", yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa Inggris. Para filsuf analitik cenderung menganggap filsuf sebagai sejenis profesi ilmiah yang istimewa; mereka setiap-waktu menolak terang-terangan gagasan bahwa filsafat itu berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Arah filsafat yang kedua menempati ancangan yang berlawanan, dengan memandang filsafat sebagai jalan hidup, sehingga tugas filsafat berkisar pada pemahaman hakikat dan tujuan keberadaan manusia beserta segala kerumitannya. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "eksistensialisme", yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa non-Inggris. Para filsuf eksistensialis cenderung menganggap filsafat sebagai disiplin-studi biasa yang meliputi hampir segala hal yang dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih benar atau lebih "otentik"; namun dalam prosesnya, tulisan-tulisan yang mereka susun tentang kehidupan semacam itu acapkali gelap sekali, sehingga pembaca awam amat kesulitan dalam memahaminya.

Arah filsafat yang ketiga mengakui bahwa kedua pendapat tadi diperlukan untuk menggagas tugas filosofik dengan tepat. Filsuf yang baik mengikuti arah yang ketiga ini, dengan meyakini bahwa tujuan penjernihan konsep-konsep mengarah ke jalan hidup tertentu, dan bahwa penjelasan jalan hidup ini harus diungkap dengan gamblang dan jangan sampai terjerembab ke jurang kegelapan. Filsafat yang tidak ditatap sebagai jalan hidup kelihatannya lebih menyerupai ilmu yang bersifat teknis, sedangkan filsafat yang tidak menghajatkan upaya keras untuk menjernihkan konsep-konsep tampaknya lebih menyerupai agama yang bersifat mistis. Padahal, filsafat, sekurang-kurangnya filsafat yang baik, bukanlah ilmu dan juga bukan agama, melainkan disiplin unik yang tegak di atas tapal batas antara keduanya. Karenanya, kita dapat menggambarkan hubungan antara tiga tipe filsafat tersebut dengan memetakannya pada sepotong segitiga sederhana sebagai berikut:

filsafat analitik:

penjernihan konsep



filsafat “yang baik”

sintesis keduanya



eksistensialisme:

jalan hidup

Gambar I.2: Tiga Tipe Filsafat

Omong-omong, barangkali filsuf analitik "yang baik" sama banyaknya (atau sama sedikitnya!) dengan filsuf eksistensial "yang baik". Filsuf analitik yang baik ialah yang bisa berbahasa dengan gamblang tanpa kehilangan wawasan terhadap bidikan-puncak pembelajaran, yakni untuk hidup dengan lebih baik. Sebaliknya, filsuf eksistensialis yang baik ialah yang dapat mengarahkan perhatian kita ke bidikan-puncak itu tanpa penggunaan bahasa yang ruwet atau menyesatkan, yang hanya mengaburkan kebenaran. Maksud saya, bolehjadi pendekatan terbaik untuk memandang filsafat adalah tidak sekedar berakar pada salah satu dari kedua tipe tersebut, tetapi justru berdiri di atas keduanya secara seimbang.

Nah, jam pertama ini hampir habis, namun masih ada waktu untuk satu saran lagi tentang bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan utama kita tadi. Saya penasaran, kalau-kalau ada di antara kalian yang mempunyai sepenggal jawaban yang berbeda dengan jawaban-jawaban yang telah diutarakan sejauh ini. Kita pada dasarnya baru membahas secuil kemungkinan jawaban, padahal filsafat itu mengenai banyak hal.

Mahasiswa G. "Saya pikir selalu, filsafat itu berkenaan dengan sikap takjub (wonder)."

Ketakjuban macam apa? Apakah maksud anda hanya bengong dan melamun? Ataukah terbersit dalam benak anda sesuatu seperti Alice di Negeri Ajaib?

Mahasiswa G. "Saya rasa tidak. Saya pikir, sikap takjub itu semacam semangat belajar untuk menuju kebenaran. Bukankah para filsuf tertarik pada upaya untuk menyelidiki mengapa benda-benda berada sedemikian rupa?"

Memang begitulah! Sebenarnya, kata "filsafat" itu sendiri berasal dari dua kata Yunani "philos" (mencintai) dan "sophos" (kealiman).[2] Jadi, secara harfiah, filsafat itu merujuk pada pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada kehidupan kita. Pencarian ini pasti berkobar dengan semangat "ketakjuban". Oh ya, saya tidak bergurau kala mengacu pada Alice in Wonderland. Ceriteranya penuh dengan gagasan filosofis yang menarik!

Oh ya, tentu saja kita belum selesai menjawab pertanyaan kita. Pertanyaan "Apakah filsafat itu?" memang akan selalu ada di benak kita di sepanjang matakuliah ini. Jika kita mampu menjawab tuntas hari ini, maka sampai di sini saja kuliah kita, dan tigapuluh-lima kuliah sisanya tidak kita perlukan. Akan tetapi, ternyata kita masih jauh dari hal itu. Alih-alih, saya ingin sekali menimbulkan kesan kepada anda bahwa hingga perkuliahan Pengantar Filsafat ini berakhir (mudah-mudahan) anda kurang tahu akan filsafat daripada sebelum anda memasuki kelas hari ini!

Saya mengatakannya karena, seperti yang akan kita ulas, pada aktualnya filsafat berawal dengan pengakuan kebebalan. Alasan mengawali kuliah pengantar [filsafat] dengan menelaah metafisika tepatnya adalah bahwa metafisika dapat mengajarkan kita perbedaan antara hal-hal yang bisa kita ketahui dan yang tidak bisa kita ketahui. Hanya bila kita telah mempelajarinya, maka kita siap belajar dari logika tentang bagaimana memperoleh pemahaman kata-kata. Logika terutama mengajarkan kita perbedaan antara makna kata kala mengacu pada sesuatu yang dapat kita ketahui dan makna kata kala mengacu pada sesuatu yang tidak kita ketahui sama sekali. Segera seusai kita miliki pondasi teoretis ini, kita bisa menerapkan pahaman baru kita dengan cara-cara yang praktis. Kita melakukannya dengan menggapai kebenaran dan pengetahuan yang relevan dengan kehidupan manusia; mencari "ilmu" sejati inilah yang disebut cinta kealiman. Dengan mencintai kealiman, kita dapat memasuki tahap-keempat tugas filsafat tanpa menjadi "tersesat di kawasan yang menakjubkan kita", begitulah perumpamaannya. Hal itu karena tugas terakhirnya adalah sungguh-sungguh menghargai sikap takjub berkeheningan. Dalam pengertian tertentu, semua filsafat berpangkal pada sikap takjub berkeheningan. Sekalipun begitu, filsafat berujung pada sikap takjub berkeheningan juga, sebagaimana yang akan kita saksikan pada Bagian Empat matakuliah ini.

Hal itu akan banyak mendorong kita untuk memikirkan pelajaran pertama kita. Jadi, saya simpulkan saja dengan menambahkan bahwa keempat tugas filsafat yang baru saja saya paparkan tadi bersesuaian secara pas dengan empat "unsur" filsafat yang terlukis pada Gambar 1.1, dan dapat dipetakan pada salib yang sama sebagai berikut:

takjub berkeheningan



cinta kealiman pengakuan kebebalan



pemahaman kata-kata

Gambar I.3: Empat Tujuan Berfilsafat

Masing-masing itu sebaiknya dipandang sebagai tugas yang tiada henti, bukan persyaratan yang harus dipenuhi dengan lengkap sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Karena alasan ini, kita bisa memandangnya sebagai sasaran-sasaran yang kita tetapkan untuk kita sendiri pada setiap tahap berfilsafat.

2. Beberapa Pedoman Penulisan Lembar Mawas

Wawasan adalah batu pondasi semua pandangan filosofis. Tanpa wawasan, kita akan tiada kreativitas, sedikit-banyak selalu tetap sama, di suatu alam yang relatif tidak berakal, tidak berbeda dengan binatang. Bila hewan mempunyai [dorongan hati atau] naluri (instinct), manusia memiliki potensi [dorongan akal atau] wawasan (insight). Oleh sebab itu, salah satu pelajaran terpenting yang harus dipelajari di segala studi filsafat adalah apakah wawasan itu dan bagaimana cara mengembangkan kemampuan diri untuk berwawasan. Beberapa sifat wawasan akan kita bahas dalam matakuliah ini. Bahasan terpentingnya disinggung di Kuliah 12 [tentang Gambar IV.6], 15, 18 [tentang Gambar VI.5], 20 [paragraf kedua], 24 [satu paragraf sebelum dua paragraf terakhir], dan 28 [tentang Gambar X.1]. Itu semua sebaiknya sudah dibaca sebelum anda memulai penulisan lembar pertama anda. Namun keterampilan berwawasan hanya dapat muncul melalui praktek. Karena alasan ini, tanggung jawab anda selaku mahasiswa pada matakuliah ini terutama berpusat pada tugas penulisan serangkaian “lembar mawas” (insight papers). Entah anda membaca buku ini sebagai buku-ajar matakuliah yang sedang anda tempuh entah hanya karena minat anda, saya harap anda sungguh-sungguh mementingkan tindak lanjut dari hal-hal yang anda baca di sini dengan jalan menulis sesuatu untuk anda sendiri. Hal ini akan memberi anda peluang untuk berfilsafat melalui pencatatan hasil renungan anda sendiri terhadap persoalan filosofis tertentu. Pedoman yang hendak saya sarankan pada jam kuliah ini dimaksudkan untuk membantu anda dalam memilih topik yang tepat dan menulis lembar mawas yang baik.

Pada akhir setiap bab atau “pekan” (yakni setiap tiga serangkai kuliah yang direkam di buku ini), saya menyediakan empat pasang “Pertanyaan Perambah”, dengan beberapa baris kosong di bawah masing-masing, tempat anda mencatat sepatah dua patah kata percikan pemikiran anda mengenai pertanyaan yang bersangkutan. Anda bisa memanfaatkan itu sebagai topik lembar mawas anda, kendati topik apa saja bisa diterima, asalkan anda memperlakukannya dengan cara filosofis. Anda pun jangan mencari “serangkaian” solusi di buku ini terhadap masalah pilihan anda yang akan anda renungkan dan anda tuliskan. Lembar mawas adalah arsip wawasan-anda-sendiri, bukan wawasan saya—walau tentu saja, akan anda dapati faedah penggunaan isi kuliah-kuliah saya sebagai batu loncatan untuk mengembangkan cara pikir khas anda sendiri.

Sejauh ini, lembar mawas merupakan aspek terpenting matakuliah ini karena lembar mawas menggenapi tatapmuka perkuliahan dan bacaan-bacaannya dengan pengalaman pribadi berfilsafat yang nyata. Karena itu, lembar mawas yang relevan bisa digunakan sebagai basis diskusi kelas. Tugas pembahasan implikasi persoalan yang diangkat di berbagai lembar mawas acapkali cukup menarik untuk mengisi jam kuliah yang tersedia. Waktu sisanya dicurahkan untuk pembahasan pertanyaan yang muncul dari buku-ajar dan bacaan anjuran yang relevan. Ini berarti bahwa sejak jam kuliah kedua ini setiap mahasiswa diharap untuk membaca [bahan] kuliah yang relevan di buku ini sebelum memasuki kelas. Akan ada banyak gunanya pula bila anda membaca sekurang-kurangnya sebagian dari pustaka yang didaftar di seksi “Bacaan Anjuran” per pekan. Bacaan-bacaan itu biasanya disusun urut, yang berawal dengan bacaan-bacaan yang lebih singkat atau spesifik yang dikutip di dalam teks kuliah, dan berakhir dengan pustaka-pustaka yang lebih panjang dan/atau umum yang akan membantu anda dalam merambah secara lebih mendalam implikasi-implikasi dari topik-topik yang dibahas di kuliah-kuliah pekan yang bersangkutan. Bacaan-bacaan ini juga dapat digunakan untuk merangsang wawasan dan memberi topik yang baik untuk lembar mawas.

Dengan mengingat-ingat kiat-kiat berikut ini, anda akan terbantu dalam membaca secara lebih mawas:

1. Jangan khawatir kalau-kalau tidak setiap kata dan tidak setiap kalimat anda pahami!

2. Alih-alih, fokuskan pada [pencarian] lokasi gagasan-gagasan utama dan upaya pemahamannya!

3. Garis bawahilah kata-kata kuncinya, dan cobalah untuk menangkap alur umum argumentasinya!

4. Garis bawah yang berlebihan akan mematahkan niat tersebut dan terlalu menyulitkan pengulasan.

5. Untuk definisi singkat istilah-istilah kunci, mengaculah pada Daftar Definisi Istilah yang tercatat di halaman belakang buku-ajar ini![3]

6. Berinteraksilah dengan buku ini! Jika anda menolak [suatu gagasan di dalamnya], tulislah alasan anda di tepi halaman; kalau anda menerima, tulislah sesuatu seperti “ya!”. Jika itu mengingatkan sesuatu yang lain, buatlah catatan tentang hal itu; bila anda bingung, tulislah “?”, lalu tanyakan penjelasannya di kelas!

7. Apabila anda mendapati pasal yang menarik di buku-ajar ini, luangkanlah lebih banyak waktu pada pasal tersebut, kemudian burulah Bacaan Anjuran atau mintalah acuan lebih lanjut kepada dosen anda!

8. Jika suatu pasal membosankan anda, cobalah untuk membaca dengan lebih cepat atau sepintas-lalu sampai anda mencapai bagian yang lebih menarik! Anda dapat memandang isinya dengan cepat melalui membaca beberapa paragraf awal dan akhir dan kalimat pertama setiap paragraf sisanya. (Gunakan kiat ini terhadap Bacaan Anjuran, bukan terhadap buku ini!)

9. Yang terpenting, percayalah kepada daya-paham anda sendiri! Ambillah semboyan Pencerahan untuk anda sendiri: Beranilah menggunakan akal anda sendiri!

Filsafat harus dipelajari dengan bebas dan dengan desakan luar yang sesedikit mungkin, sehingga matakuliah ini praktis tidak menuntut anda membaca sebanyak-banyaknya karya-karya klasik. Akan tetapi, kuliah-kuliah kita nanti akan sering mengacu pada banyak teks klasik, sehingga diasumsikan bahwa siapa saja yang, atau mulai, termotivasi dari dalam untuk berfilsafat akan berupaya untuk mengakrabi bacaan-bacaan tambahan itu sebanyak mungkin.

Nah, berikut ini jawaban singkat atas pertanyaan-pertanyaan paling dasar yang biasanya ditanyakan oleh mahasiswa-mahasiswa ketika mereka berusaha memahami hakikat dan maksud penulisan wawasan mereka:

Apa? Lembar mawas adalah karya tulis singkat tentang pemikiran, pandangan, dan penalaran anda sendiri tentang topik apa saja, dengan ketentuan bahwa anda memperlakukannya secara filosofis. Penyiapan dan penulisan makalah semacam itu merupakan salah satu aspek terpenting kelas ini. Karena itu, anda seyogyanya menulis lembar mawas setelah beberapa saat seusai memikirkan dengan penuh konsentrasi atau merenungkan sesuatu yang filosofis, sekurang-kurangnya selama limabelas menit. Di samping pertanyaan-pertanyaan di akhir setiap pekan, inilah beberapa contoh jenis pokok bahasan yang bisa anda pilih untuk anda renungkan: segala pertanyaan atau persoalan yang diangkat di kuliah-kuliah di buku ini atau dibahas di kelas; pertanyaan tentang makna atau hakikat sesuatu; teori atau argumen yang diajukan oleh beberapa filsuf yang telah anda baca; obyek atau pandangan yang anda pikir indah atau aneh; pengalaman yang menurut anda sangat filosofis; dan sebagainya.

Bagaimana? Padatkan! Jangan mengira bahwa makalah yang panjang akan selalu mencapai hasil yang baik. Itu tidak benar. Kadang-kadang beberapa kalimat sudah cukup untuk menunjukkan bahwa anda memiliki wawasan filosofis yang signifikan. Segala hal yang tidak langsung berkaitan dengan wawasan itu sendiri sebaiknya diringkas atau disingkirkan. Makalah anda mesti menyediakan tempat yang sesempit mungkin bagi pemerian informasi latar belakang, semisal ide-ide orang lain. Sebagian besar dari tempat itu harus dicurahkan untuk pemikiran, kritikan, analisis, dan ide-ide anda sendiri mengenai jawaban dan hal-hal lain yang masuk akal. Sebagai aturan umum, mestinya satu halaman kertas standar sudah cukup panjang. Kalau anda perlu menggunakan dua halaman, tolong lestarikan pepohonan dengan menulis kedua sisi (bolak-balik) satu lembar kertas.

Berapa banyak? Tulislah lembar mawas sebanyak-banyaknya! Jika anda memakai buku ini sebagai buku-ajar perkuliahan, periksalah rincian jumlah lembar mawas yang disyaratkan, tanggal penyerahan, dan pedoman khusus lainnya.

Mengapa? Maksud lembar mawas adalah melatih keterampilan berfilsafat anda, dengan membolehkan anda merambah ide-ide filosofis sedalam-dalamnya. Jadi, ingat-ingatlah hal ini ketika anda menulis lembar mawas. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang menggerakkan pemikiran anda yang melampaui kulitnya, seperti “mengapa?”, “apa maksudnya?”, “bagaimana saya tahu?”, “apakah ini?”, dan lain-lain. Jangan cuma mengulang pandangan orang lain. Anda dapat menyebut gagasan orang lain (umpamanya teori-teori dari beberapa filsuf yang telah anda kaji), namun cobalah melakukannya dengan sesingkat mungkin. Sebagian besar isi makalah harus dicurahkan untuk penjelasan dan analisis terhadap gagasan anda sendiri. Baik kreativitas maupun argumentasi yang berhati-hati akan sangat bernilai, di samping kejelasan dan keteraturan. Pernyataan opini anda sendiri belaka, tanpa alasan pendukungnya, tidak memadai. Opini dapat dicantumkan sebagai titik pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut, tetapi wawasan asli lebih bernilai daripada opini yang tanpa dasar.

Apa berikutnya? (Pembaca yang bukan mahasiswa [saya] silakan melompati jawaban atas pertanyaan ini dan dua paragraf di bawahnya.) Lembar mawas mesti dipakai sebagai basis diskusi, baik di dalam maupun di luar kelas. Untuk diskusi di dalam kelas, beberapa makalah akan dibacakan (secara anonim) di depan kelas. (Jika anda tidak ingin tulisan anda dibacakan di depan kelas, anda harus menulis di lembar anda sesuatu seperti “Harap lembar ini tidak dibacakan di kelas karena ...” dan jelaskan alasannya.) Normalnya, makalah-makalah itu akan dikembalikan pada akhir tatap-muka berikutnya; kata-kata pentingnya akan digarisbawahi dan beberapa pertanyaan atau komentar yang relevan akan dituliskan di lembar makalah anda. Catatan itu tidak selalu mencerminkan sudut pandang dosen-anda sendiri, namun dimaksudkan untuk membantu anda dalam memikirkan dengan lebih mendalam persoalan yang diangkat di dalamnya.

Pertanyaan yang barangkali sekarang ada di benak kebanyakan pembaca dari kalangan mahasiswa adalah: bagaimana lembar mawas akan dinilai? Tentu saja, dosen-dosen tak pelak lagi akan mempunyai kriteria yang berlainan untuk menilai kelayakan-relatif tugas semacam itu. Tindakan saya sendiri adalah mencari keseimbangan antara kreativitas, kejelasan, dan ketegasan kritis (yakni mempertimbangkan seluk-beluk berbagai kemungkinan sudut pandang). Berikut ini skala penilaian kasar yang didasarkan langsung pada tiga kriteria itu. Lembar “A” adalah yang kuat di ketiga bidang. Lembar “B” harus kuat di dua bidang, walau agak lemah di bidang lainnya, atau kuat di satu bidang dan sedang-sedang saja di dua bidang lainnya. Berikutnya, lembar “C” bisa kuat di salah satu area dan lemah di dua area lainnya, atau sedang-sedang saja di ketiga area. Lembar “D” adalah yang tidak kuat di ketiga bidang dan benar-benar lemah di satu atau dua bidang. Adapun lembar mawas yang gagal ialah yang lemah di ketiga area; hal ini biasanya lantaran kebanyakan atau seluruh isinya cuma menyalin dari sumber lain, atau kandungannya tidak lain kecuali paparan cerita, peristiwa, dan sebagainya, tanpa upaya sama sekali untuk memikirkan implikasinya.

Sewaktu mengajar Pengantar Filsafat, saya beberapa kali menggunakan metode “lulus-gagal” untuk menilai lembar mawas: lembar-lembar dibubuhi tanda v jika mengandung isi filosofis yang cukup untuk mendapatkan sekurang-kurangnya nilai “C” dan diberi tanda minus jika di bawah level itu. (Dalam kasus itu, saya juga memberi tanda plus untuk menghargai makalah istimewa yang berstandar tinggi.) Kelebihan metode penilaian itu adalah bahwa, dengan melunakkan tekanan sebagian mahasiswa yang mungkin merasa menulis sesuatu hanya untuk mengesankan dosen, metode itu cenderung memberi rasa kebebasan yang lebih banyak untuk memilih topik-topik yang sesuai dengan minat mereka. Kelemahannya, tentu saja, adalah bahwa sebagian mahasiswa mungkin tidak berupaya keras untuk berlatih sebagai akibat dari mengetahui bahwa makalah yang sedang-sedang saja akan menerima nilai yang sama dengan makalah yang hebat.

Berlandaskan asumsi bahwa kebanyakan mahasiswa akan tertarik untuk belajar menulis lembar mawas dengan lebih baik, tak peduli apakah (atau bagaimanakah) lembar itu dinilai, saya hendak menghabiskan jam kuliah ini dengan serangkaian saran untuk meningkatkan keterampilan anda di bidang ini. Pertama, anda jangan memilih topik sebelum anda memiliki wawasan dengan merenungkan topik yang tersedia. Kalau anda belum memilikinya, curahkanlah lebih banyak waktu untuk perenungan anda: pengembangan dayatangkap wawasan adalah disiplin yang memakan waktu! Pokoknya, anda harus melawan godaan untuk memperlakukan lembar mawas sebagai esai belaka, dengan memilih topik secara serampangan dan kemudian mencoba mereka-reka “wawasan” hanya untuk menjadikan makalah anda terlihat bagus. Apabila benak anda senantiasa terbuka dan merenungkan persoalan-persoalan yang anda cermati, maka akhirnya wawasan akan muncul; menyeleksi salah satu dari persoalan-persoalan itu untuk topik makalah anda akan memastikan bahwa anda mempunyai topik yang lebih menarik anda daripada kalau anda cuma memilih pertanyaan atau persoalan filosofis secara serampangan yang anda peroleh secara kebetulan.

Segera seusai anda mempunyai wawasan dan memilih topik berdasarkan wawasan ini, anda harus melakukan lebih daripada sekadar menyatakan wawasan anda. Dengan kata lain, anda jangan cuma mengajukan pertanyaan dan kemudian memberi jawaban yang “benar”. Alih-alih, anda harus menganalisis kesahihan wawasan anda dengan mempertimbangkan kemungkinan penolakan orang lain dan menyediakan alasan untuk menopang pandangan anda. Pendekatan semacam ini akan menghindarkan wawasan anda dari penampilan yang hanya menyerupai ungkapan opini anda. Karena alasan yang sama, anda harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan pandangan—bahkan barangkali semua kemungkinan pandangan, kalau bisa. Artinya, anda harus memikirkan persoalan dari berbagai perspektif sebanyak mungkin.

Istilah “perspektif” itu akan menjadi salah satu istilah teknis terpenting pada keseluruhan matakuliah ini. Perspektif adalah cara pandang terhadap sesuatu, atau konteks umum untuk menafsirkan persoalan, dan sangat menentukan jenis jawaban yang akan diberikan. Salah satu pelajaran penting yang harus dipelajari seawal mungkin dalam pendidikan filsafat anda adalah bahwa pertanyaan yang sama dapat memiliki jawaban-jawaban benar yang berlainan, jika diambil perspektif yang berbeda. Hal ini akan banyak dibicarakan pada waktu kita menjalani matakuliah ini.

Komentar-komentar yang saya tuliskan di lembar mawas mahasiswa biasanya dimaksudkan untuk membantu dalam proses tersebut, proses melihat persoalan dari berbagai perspektif. Akibatnya, yang saya tulis di lembar mawas mahasiswa tidak selalu mencerminkan pandangan saya sendiri; saya lebih sering mengajukan pertanyaan yang saya rasa terlupakan dan karenanya sebaiknya dipertimbangkan jika dilakukan perenungan lebih lanjut terhadap topik itu. Jika anda membaca buku ini bukan sebagai buku-ajar kuliah, maka saya sarankan anda mencari teman yang berpikiran-filosofis yang bisa anda ajak bertukar lembar mawas. Bacalah dan berilah komentar makalah teman anda itu secara teratur, dengan tujuan saling membantu memperdalam pemikiran persoalan yang dibicarakan.

Saya banyak memusatkan perhatian pada pemerolehan keinsafan akan perspektif yang berlainan, karena inilah yang saya yakini paling signifikan, di antara segala keterampilan filosofis, dalam menyiapkan kita untuk mengarungi kehidupan dengan baik. Pernyataan Sokrates bahwa “kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga” (lihat Kuliah 5) itu benar hanya jika kita memiliki cara yang efektif untuk memeriksa kehidupan kita. Pemeriksaan-diri semacam itu memiliki dua segi yang berbeda, yang berhubungan dengan aspek kesadaran dan ketidaksadaran alam. Matakuliah ini hanya berkenaan dengan wawasan dan perspektif yang berhubungan dengan aspek pertama. Saya mengajar matakuliah lain tentang penakwilan mimpi dan pengembangan kepribadian yang terutama berkenaan dengan aspek kedua (lihat DW). Di matakuliah ini sebagaimana rangkaiannya, kesadaran akan perspektif merupakan kunci metode pemeriksaan-diri yang efektif. Tanpa itu, bagi kita wawasan kita tak akan lebih dari serangkaian prakonsepsi berat sebelah yang kita percayai tanpa tahu mengapa nyatanya kita mempercayainya, atau tanpa tahu apa pilihan-pilihannya. Namun dengan kesadaran semacam itu, kita pun dapat belajar menerima sahnya prakonsepsi tertentu, bila perspektif yang didukung oleh prakonsepsi itu terlihat lebih unggul daripada pilihan-pilihan lain. Pada faktanya, persoalan prakonsepsi itu amat mendasar untuk memahami hakikat dan fungsi filsafat. Oleh sebab itu, saya akan mencurahkan semua kuliah mendatang untuk memeriksa topik tersebut dengan lebih rinci.

3. Filsafat Laksana Mitos

Pernah ada pohon; namanya "Filsafat". ...

Di keseluruhan matakuliah ini, saya ingin kita semua memperlakukan cerita pendek tersebut seolah-olah sebagai kunci pintu alam filsafat. Gagasan serupa bisa kita ungkap dalam bentuk analogi yang lebih filosofis dengan mengatakan, "filsafat itu laksana pohon". Dengan kata lain, kita asumsikan saja--sebagai titik tolak yang mapan untuk segala pemeriksaan kita--bahwa hakikat dan unsur-unsur pohon menunjukkan gelagat mengenai hakikat dan unsur-unsur filsafat. Akan tetapi, seperti halnya prakiraan tulus apa pun, kita tidak akan mati-matian mempertahankan titik tolak itu dengan bukti-bukti yang tak terbantah; yang bisa kita lakukan hanyalah meyakini nilai dan kebenarannya, dan kemudian merambah berbagai implikasinya. Andaikan hasil akhirnya kurang memuaskan, kita buang saja prakiraan itu, lalu kita bertolak lagi dengan hipotesis-hipotesis baru. Namun sementara ini, saya akan mengacu pada analogi tersebut berulang kali pada matakuliah ini dengan harapan memperoleh wawasan yang lebih luas dan lebih jelas dalam disiplin yang kita sebut "filsafat".

Maksudnya, asumsi bahwa pernah ada pohon yang bernama "filsafat" itu akan berlaku sebagai mitos yang memandu dan menjaga kesatuan berbagai ide yang kita bahas di sini. Makna kata "mitos", bila digunakan dengan cara itu, bukan "cerita khayalan atau takhayul" yang lazim terpakai dalam bahasa sehari-hari. Di sini, saya justru memanfaatkan arti spesialnya, yang digunakan oleh antropolog-antropolog dalam paparan mereka tentang primitifnya asal-usul agama. Sekarang saya hendak merambah pengertian baru kata "mitos", bukan hanya supaya kita bisa memahami lebih jelas maksud ungkapan bahwa "pohon filsafat" itu akan berlaku sebagai mitos kita [sekurang-kurangnya pada matakuliah ini], melainkan juga karena, seperti yang akan kita bahas, filsafat itu sendiri banyak berasal dari pola pikir mitologis spesial tersebut.

Tentang bagaimana mitos berfungsi dalam masyarakat primitif, seperangkat penjelasan yang elok disodorkan pada Bab Pertama dalam Myth and Reality, karya Mircea Eliade, salah seorang cendekiawan abad keduapuluh yang paling berpengaruh dalam studi agama secara ilmiah. Karena makna yang ia rujuk pada kata "mitos" sangat mirip dengan asumsi yang saya maksud pada alinea di atas, saya hendak menyoroti beberapa hal penting yang ia catat. Yang paling berharga, ia mendefinisikan mitos sebagai suatu cerita lama tentang asal-usul dunia atau benda-benda di dunia, yang dengan berbagai jalan menjelaskan mengapa keberadaan manusia begitu adanya, atau mengapa norma-norma budaya masyarakat berkembang sedemikian rupa. Mitos Prometheus, misalnya, memberi tahu kita tentang asal-usul api di samping hal-hal lainnya. Subyek-subyek mitos yang paling umum di antaranya adalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan seksualitas, hubungan keluarga, dan kematian.

Pelaku dalam mitos-mitos itu biasanya dewa, sesuatu yang adikodrati, atau pahlawan dengan kekuatan yang adikodrati. Sayangnya, para penyimak modern cenderung kurang menyadari fakta bahwa cerita-cerita itu terutama berfungsi sebagai model perilaku manusia. Namun bagaimanapun, dalam seabad ini sudah ada upaya untuk memperlihatkan bahwa mitos-mitos kuno itu mengisahkan riwayat, berbicara tentang manusia. Psikolog Sigmund Freud, misalnya, berpendapat bahwa mitos Oedipus, orang yang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, mengemukakan riwayat tentang pengalaman kanak-kanak semua lelaki, bukan hanya anak yang hidup pada masa Yunani Kuno. (Untuk rincian lebih lanjut, lihat DW, Kuliah 8.) Secara demikian, alangkah baiknya bila dalam menyimak suatu mitos kuno, kita menganggap semua tokoh itu dalam hal tertentu menuturkan cerita tentang siapakah kita. Ketika saya membaca mitos sebagai riwayat hidup saya sendiri, maka sesuatu yang dulu tampak aneh dan tidak relevan tiba-tiba mengilhami makna baru.

Menurut Eliade, anggota-anggota suku menilai mitos mereka sebagai kisah yang paling sejati di antara semua kisah nyata. Kesejatiannya ditonjolkan berkali-kali oleh fakta bahwa mengaktifkan mitos dalam bentuk ritual memungkinkan mereka untuk berkuasa terhadap alam. Di samping itu, repetisi ritual kisah itu senantiasa menghidupkan mitos dalam jiwa dan benak orang-orang tersebut. Bahkan, tampaknya mereka memiliki dua jenis kisah yang berbeda. Pertama, cerita yang berhubungan dengan peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan mereka sehari-hari; kedua, cerita yang berkaitan dengan kejadian yang berlangsung pada "masa mitologis" istimewa (yang terkadang diacu sebagai "masa impian"). Dalam bahasa Jerman, ada perbedaan di antara dua macam kisah ini. Untuk memaparkan cerita-cerita biasa, dipakai kata historie, sedangkan untuk memaparkan cerita-cerita dengan makna spesial yang lebih mendalam, digunakan kata geschichte. Jadi, kata heilsgeschichte mengacu pada "sejarah suci" istimewa yang eksis, sebagaimana adanya, pada tingkat yang beda dari sejarah biasa.

Walaupun laporan Eliade itu sangat cermat sebagai paparan tentang mitos yang terdapat pada kebudayaan primitif, saya ingin menanamkan kesan bahwa, dengan sedikit revisi, kita bisa mendapati unsur mitologis dalam setiap kebudayaan, yang mana pun, termasuk kebudayaan kita sendiri. Mula-mula, alih-alih, saya sarankan agar pengertian mitos tidak kita batasi pada "cerita lama", tetapi kita perluas sehingga mencakup segala keyakinan, riwayat, dan rancangan yang diperlakukan sebagaimana fungsi legenda bagi orang-orang primitif. Dengan kata lain, segala hal yang kita manfaatkan untuk menjelaskan mengapa hal-hal sedemikian adanya, atau segala sesuatu yang kita gunakan sebagai model untuk perilaku kita, bisa kita anggap sebagai mitos. Dengan cara ini, kita sisihkan tuntutan bahwa tokoh-tokoh di dalam mitos sangat jauh dari diri kita dan bahwa unsur-unsur ceritanya terlalu aneh bagi indera modern.

Tentu saja, tidak semua penjelasan tentang realitas bersifat mitologis, sehingga kriteria Eliade mengenai nilai kebenaran mitos perlu kita ingat. Akan tetapi, saya pikir kita harus menolak kesaksiannya bahwa mitos melambangkan kebenaran yang paling sejati di antara yang benar. Alih-alih, saya percaya corak penentu keyakinan mitologis, selama mengenai nilai kebenarannya, adalah bahwa maknanya menjadikan mitos melampaui pertanyaan.[4] Dengan kata lain, bagi orang yang “hidup dengan bermitos”, pertanyaan tentang tepat atau sesatnya cerita atau keyakinan atau pandangan itu tidak relevan. Begitulah mitos. Dengan kata lain, pada tingkat sedalam itu bisa dimengerti bahwa mempertanyakannya pun tak terpikir sama sekali. (Revisi pandangan tentang nilai kebenaran mitos digambarkan oleh diagram yang terlihat di Gambar I.4.) Itu bukan berarti bahwa orang-orang yang hidup dengan bermitos tidak mampu mengajukan pertanyaan tentang makna mitos mereka, melainkan justru sebaliknya. Pembahasan pertanyaan-pertanyaan semacam itu acapkali memainkan peranan penting dalam masyarakat-masyarakat yang diatur dengan mitos tertentu. Satu-satunya pertanyaan yang tidak pernah timbul adalah pertanyaan dasar tentang apakah mitos itu sendiri benar ataukah tidak.

sejarah:

riwayat, keyakinan, dan

lain-lain yang nyata

mitos:

riwayat, keyakinan, dan hal-hal mempertanyakan

maknawi lain yang tak dipersoalkan

dongeng:

riwayat, keyakinan, dan

lain-lain yang khayal

Gambar I.4: Nilai Kebenaran Mitos

Bilamana keyakinan akan mitos mereka dipersoalkan oleh orang lain, maka mereka sangat enggan untuk menanggapinya. Pernyataan Eliade bahwa mitos diyakini sebagai "yang paling sejati" di antara kisah-kisah nyata itu bersandar pada kesalahpahaman akan tanggapan itu. Orang-orang primitif itu secara naluriah mengetahui bahwa gagasan "kebenaran" tidak cocok sama sekali jika diterapkan pada mitos. Mempersoalkan "kebenaran" mitos berarti menyalahpahami makna mitos. Klaim Eliade tersebut lebih merupakan ide-ide prakiraan yang bersumberkan data dari bacaan antropolog-antropolog daripada niat aktual orang-orang primitif tersebut. Karena itu, demi tujuan kita, istilah “mitos” mengacu pada segala keyakinan yang maknanya sangat dekat dengan jalan hidup orang yang tak pernah mempertimbangkan pengajuan pertanyaan "Benar atau salahkah ini?"

Kini saya harap anda mengerti dengan lebih jelas apa yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa cerita tentang suatu pohon yang berjuluk "Filsafat" akan menjadi mitos kita yang memandu matakuliah ini. Maksudnya, saya ingin anda mengakui kebenaran analogi "filsafat itu seperti pohon" begitu saja tanpa mempertanyakannya. Selanjutnya, saya menghendaki, gambar pohon filsafat berlaku sebagai model untuk segala perenungan anda mengenai apakah filsafat itu. Dengan melakukannya, akan anda dapati bahwa anda mempunyai semacam daya untuk memahami wawasan-wawasan filosofis yang biasanya di luar jangkauan para pemula. Namun sebelum kita mulai merambah beberapa wawasan filosofis itu, saya berniat mengulas asal-usul mitologis filsafat itu sendiri.

Sebagian besar sejarah kebudayaan biasanya menoleh ke "zaman keemasan" yang kehidupan manusianya sangat berbeda dengan kehidupan masa sekarang. Kerinduan untuk kembali ke zaman keemasan ini (yang pada umumnya berkaitan erat dengan "masa impian" atau "masa mitologis" yang disebut di atas) merupakan penggerak perubahan-perubahan kebudayaan. Bagi orang-orang Yahudi terdahulu, zaman keemasannya adalah Taman Surga, yang di dalamnya Adam dan Hawa “berjalan-jalan dengan Allah di suatu sore hari yang sejuk”. Bagi orang Cina pada era Konfusius (551-479 S.M.), zaman keemasannya ialah periode "kaisar-kaisar bijaksana", tatkala Cina diperintah dengan alim dan murah hati. Karena filsafat Barat, yang merupakan fokus utama kuliah ini, bermula di Yunani Kuno, perlu dicatat bahwa orang-orang Yunani itu juga mempercayai zaman keemasan. Oleh sebab itu, mari kita tengok secara ringkas sejarah Yunani Kuno supaya kita beroleh beberapa pahaman tentang bagaimana filsafat lahir dari mitos.

Beberapa cendekiawan yakin, impian zaman keemasan di Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena, yang pudar pada masa Perang Troya (kira-kira 1200 S.M.). Zaman itu merupakan inspirasi untuk perekaan mitos-mitos Yunani (lihat MM 87-89 dan BM 213-215, 278). Perkembangan yang paling signifikan berikutnya dalam sejarah Yunani adalah "penciptaan epos-epos Homer [kira-kira 900 S.M.], yang bahan-bahannya meluncur dari kompleks mitos ini" (MM 88, BM 464). Epos-epos ini mengalihkan pelbagai mitos yang tak teratur menjadi bentuk yang puitis, sehingga makna mitos menjadi lebih gamblang (BM 256 dst.). Akan tetapi, budi (consciousness) manusia belum mencapai wujud modern seperti yang kita kenal saat ini. Menurut Jaynes, baru "pada abad keenam S.M." pola pikir primitif tergusur oleh "akal budi subyektif" modern kita (BM 259-260, 285-286)--pada sekitar waktu itulah tampil filsuf pertama di Yunani Kuno, yang bernama Thales (kira-kira 624-546 S.M.). Ini lalu diikuti dengan kegiatan filosofis yang mendalam selama tiga abad, yang memuncak dengan karya seorang filsuf yang bernama Aristoteles (384-322 S.M.). Karya Aristoteles itu signifikan karena, sebagaimana yang akan kita amati pada Kuliah 6, dialah filsuf utama Yunani yang mula pertama membangun suatu sudut pandang "ilmiah", dalam pengertian yang modern. Jika kita tempatkan perkembangan-perkembangan besar tersebut pada suatu jalur waktu; sketsa kasar sejarah Yunani Kuno itu terlihat seperti ini:

1200 900 600 300 0

zaman mitos sastra filsafat ilmu

keemasan

Perang Epos Thales Aristoteles Yesus

Troya Homerik

Gambar I.5: Alur Sejarah di Yunani Kuno

Selang tigaratus tahun antara perubahan-perubahan utama yang dilambangkan dalam diagram itu tentu saja hanya perkiraan waktu kejadian perubahan yang sebenarnya. Namun bagaimanapun, adalah signifikan bahwa sejarah sendiri menyiratkan pola perkembangan yang teratur tersebut. Pola itu pada faktanya mengingatkan kita kepada rupa arloji, yang terdiri atas duabelas bagian (jam/abad) yang dikelompokkan dalam empat perempatan. (Di Pekan V kita akan memeriksa struktur logis pola ini, yang juga menyediakan basis untuk pengorganisasian bab-bab di buku ini.) Yang menarik, keseluruhan periode peradaban Yunani Kuno itu diakui oleh beberapa orang sebagai "zaman keemasan"--suatu fakta yang menyiratkan bahwa pola tersebut adalah sesuatu yang berulang sendiri secara terus-menerus. Jika demikian, maka cara baik lainnya untuk menggambarkan pertalian antara empat perkembangan itu adalah memetakannya ke dalam gambar rupa arloji (yakni sebuah lingkaran yang terbagi atas empat kuadran).

Jika sekarang kita ingat kembali fakta bahwa kalender modern (Masehi) kita berawal pada titik hentian Gambar I.5 (yaitu tahun kelahiran Yesus, sekalipun bukan di Yunani), maka kita bisa menyaksikan bahwa cara terbaik untuk memetakan jalur-waktu itu pada lingkaran ialah membalikkannya (dengan cara menukar posisi antara angka 9:00 dan angka 3:00), sebagaimana penghitungan tahun S.M. (Sebelum Masehi) kita yang berkebalikan dengan penghitungan tahun Masehi kita. Hal ini menghasilkan peta bentuk-bentuk pemikiran manusia yang saling berhubungan yang terlihat di Gambar I.6.

Perang Troya



ilmu mitos

Aristoteles Homer

filsafat sastra



Thales

Gambar I.6: Empat Bentuk Pemikiran di Yunani Kuno

Saya ingin mengakhiri jam kuliah ini dengan menanamkan sebuah cara lebih lanjut untuk bisa memahami bagaimana empat ide tersebut--mitos, sastra, filsafat, dan ilmu--saling berhubungan. Kelirulah perkiraan bahwa tiada hubungan historis selain kebetulan belaka antara keempat ide itu. Pada aktualnya, ada landasan logis bagi pertalian tersebut, seperti yang tergambar dalam diagram yang terdapat pada Gambar I.7. Hidup dengan bermitos adalah seperti tinggal di suatu lingkaran tanpa mengetahui hal-hal tentang keberadaan lingkaran itu sendiri. Ini karena pemikiran mitologis itu bebal perihal tapal batasnya. Para pujangga menarik diri dari lingkaran mitos secukupnya sehingga mengakui eksistensi tapal batas itu. Sastra merupakan upaya untuk melisankan makna mitos dengan cara sedemikian rupa sehingga maknanya bisa dipahami oleh orang-orang yang sepenuhnya tinggal di luar tapal batas. Karenanya pujangga tinggal di tapal batas itu. Sebaliknya, para filsuf melangkah sepenuhnya di balik tapal batas. Akan tetapi, mereka masih cukup dekat dengan "lingkaran" mitos sehingga mereka mengakui realitas dan signifikansi "makna tersembunyi" yang terkandung di dalam ekspesi puitis mitos. Filsuf berupaya menjelaskan makna itu dengan cara yang lebih harfiah atau lebih obyektif: sementara pujangga bisa menulis karya sastra tanpa secara eksplisit mempertanyakan mitos, filsuf harus mempertanyakan mitos. Memang itulah salah satu dari tugas-tugas utama filsafat. Berbeda dengan para filsuf, para ilmuwan menarik diri mereka sendiri sejauh-jauhnya dari alam mitos sehingga mereka tidak bisa lagi mengamati adanya makna tersembunyinya sama sekali. Filsuf mempertanyakan nilai kebenaran mitos (yakni masih membuka kemungkinan untuk mencari kebenaran yang terungkap di dalamnya), sedangkan ilmuwan menolak mitos karena hanya merupakan "cerita bohong" (lihat Gambar I.4). Para ilmuwan tinggal sebegitu jauh dari mitos sehingga, jika mereka memandang lingkaran mitos sepenuhnya, mitos itu hanya tampak sebagai satu titik di kejauhan tanpa isi yang maknawi.

ilmu

sastra

filsafat

mitos

Gambar I.7: Peta Empat Bentuk Pemikiran Manusia

Jelas bahwa penggunaan sehari-hari istilah "mitos" itu kita dapatkan maknanya dari kecenderungan budaya modern kita yang menaruh kepercayaan mutlak kepada sains. Namun ironisnya, cara kita dalam memakai istilah kunci ini menyingkapkan bahwa ilmu itu sendiri mempunyai beberapa ciri seperti mitos, umpamanya kebebalan akan garis-garis tapal batasnya. Nah, ini menimbulkan pertanyaan apakah empat bentuk pemikiran dasar tersebut bisa berfungsi sebagai lingkaran, yang dengannya ilmu itu sendiri pada bentuknya yang paling ekstrim merupakan semacam mitos juga. Karenanya, salah satu tugas utama kita dalam matakuliah ini, bila kita hendak menjadi filsuf yang baik dalam suasana sekarang ini, adalah mempersoalkan hak eksklusif pandangan dunia ilmiah atas benak kita. Oleh sebab itu, pada pekan depan, kita akan bertolak dari pemeriksaan sifat melingkarnya empat bentuk pemikiran manusia itu dengan lebih rinci. Lalu kita akan menaruh perhatian khusus pada perkembangannya di Yunani kuno, yang di dalamnya dihasilkan dua sistem filsafat yang paling berpengaruh, yaitu sistem-sistem yang melambangkan dua cara utama berfilsafat (bandingkan dengan Gambar I.2) sedemikian efektif sehingga sistem-sistem itu terus mengandung buah wawasan hingga hari ini.

Pertanyaan Perambah

1. A. Apakah filsafat itu?

B. Bagaimana filsafat menyerupai pohon?

..............................

..............................

2. A. Apakah pertanyaan itu, dan mengapa itu penting dalam filsafat?

B. Bagaimana pemeriksaan-diri yang filosofis berbeda dengan yang lainnya?

..............................

..............................

3. A. Apakah memiliki ide-ide filosofis cukup untuk menjadikan anda filsuf?

B. Apakah wawasan (insight) itu?

..............................

..............................

4. A. Mungkinkah sebelum ada filsafat, manusia telah berbudi (conscious), [yakni memiliki alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan sehingga mampu menimbang baik-buruk]?

B. Adakah mitos-mitos modern kita?

..............................

..............................

Bacaan Anjuran

1. Shel Silverstein, The Giving Tree (New York: Harper & Row, 1964).

2. Gary E. Kessler, Voices of Wisdom 3rd Edition (Belmont, Ca.: Wadsworth Publishing Company, 1998[1992]), Bab 1, “What Is Philosophy?”, pp. 1-11.

3. Richard Osborne, Philosophy for Beginners (New York: Writers and Readers Publishing, Inc., 1992).[5]

4. Robert Paul Wolff, About Philosophy 5th Edition (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1992[1976]), Bab 1, “What Is Philosophy?”, dan Lampiran “How to Write a Philosophy Paper”, pp. 1-37, 452-472.