hmi komisariat kelautan

hmi komisariat kelautan

Sabtu, 01 Januari 2011

Globalisasi dan kedaulatan negara

Oleh Arip Musthopa, SIP

Globalisasi dan kedaulatan negara kerapkali dibenturkan. Globalisasi dinilai sebagai kekuatan yang cenderung melemahkan kedaulatan negara. Dalam hal ini globalisasi dapat disalahkan namun juga ada yang membela habis-habisan. Tulisan ini tidak dalam posisi yang demikian karena baik kedaulatan dipegang oleh negara maupun oleh globalisasi, toh kedua-duanya dapat menimbulkan masalah bagi rakyat. Kedaulatan negara yang terlalu kuat diselenggarakan oleh pejabatnya bisa menyebabkan otoritarianisme, totalitarianisme, dan bahkan menjelma menjadi fasis. Globalisasi dapat menjadi kekuatan yang membebaskan rakyat dari totalitarianisme apabila globalisasi hadir untuk melemahkan negara. Globalisasi yang masuk ke dalam suatu negara dan melemahkan kedaulatannya sehingga masuk bebas kepada rakyat juga dapat menimbulkan masalah ketika rakyat tidak pernah siap menghadapinya. Jadi, kedua-duanya menuntut cost.

Berkaca dari pemahaman dasar tersebut, hubungan globalisasi dan kedaulatan negara tidak dapat dinilai hanya dari siapa melemahkan siapa atau siapa menghalangi siapa, melainkan harus dilihat dari sudut pandang yang lebih kompleks, yakni bagaimana hubungan saling mempengaruhi antara globalisasi dan negara bangsa. Disatu sisi, globalisasi telah menuntut redefinisi tentang negara-bangsa. Disisi lainnya, negara-bangsa telah memaksa globalisasi menjadi dilema yang tidak bisa diterima begitu saja. Tulisan ini mencoba mendiskusikan masalah tersebut dari sudut pandang yang lebih terbuka tersebut berdasarkan dua sumber tulisan yang akan dijadikan rujukan (dan akan dilihat titik-titik perbedaannya) yakni Stephen D. Krasner, Globalization and Sovereignty, dalam David A. Smith et al (eds.), States and Sovereignty in the Global Economy (London: Routledge, 1999) dan David Held, Democracy and The Global Order (Cambridge: Polity Press, 1995) khususnya Bab 5 dan 6, Democracy, The Nation State & Global Order I & II.
Krasner memulai pemaparannya dengan beranjak dari suatu asumsi bahwa

“….sovereignty is not being fundamentally transformed by globalization. Globalization has challenged the effectiveness of state control; although it is not evident that contemporary challenges are qualitatively different from those that existed in the past. Globalization has not, however, qualitatively altered state authority which has always been problematic and could never be taken for granted.”[1]

Dari kutipan di atas nampak jelas bahwa eksistensi dan kedaulatan negara-bangsa tidak berubah secara fundamental akibat globalisasi. Sebaliknya, eksistensi dan kedaulatan negara-bangsa (hanya) “challenged” (tertantang) oleh hadirnya globalisasi. Sejauh mana tantangan itu mempengaruhi kedaulatan negara bangsa ? Krasner coba menegaskan terlebih dahulu empat cara yang biasa digunakan yang merujuk pada term kedaulatan (sovereignty):

1. Interdependence Sovereignty has referred to the ability of a government to actually control activities within and across its borders (including the movement of goods, capital, ideas, and disease vectors)
2. Domestic sovereignty has referred to the organization of authority within a given polity.
3. Westphalian sovereignty has referred to the exclusion of external authority; the right of a government to be independent of external authority structures.
4. International legal sovereignty has referred to recognition of one state by another; some entities have been recognized by other states; others have not. Recognition has been associated with diplomatic immunity and the right to sign treaties and join international organizations.[2]

Dalam penjelasannya tentang kontrol negara terhadap aktivitas warganya di era globalisasi, Krasner menyatakan bahwa arus (perdagangan, modal, ide, dll) transnational bukanlah hal baru, yang terjadi hanyalah peningkatan di wilayah tertentu dan penurunan di wilayah lainnya. Krasner bahkan menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa globalisasi telah ‘systematically undermined state control’. Lengkapnya Krasner mengatakan :

“I do not want to claim that globalization has had no impact on state control. This would be fatuous. But challenges to state control as a result of transnational flows are not new. The problems for states have more acute in some areas, but less in others. There is no evidence that globalization has systematically undermined state control. Indeed, the clearest relationship between globalization and state activity is that they have increased hand in hand.”[3]

Jadi, menurut Krasner, globalisasi hanya meningkatkan saja intensitas ‘flows’ transnasional namun tidak menghadirkan sesuatu yang baru dalam masalah kontrol negara terhadap aktivitas transnasional tersebut. Dengan demikian, fenomena arus barang/jasa, modal, ide dan sebagainya yang intens karena globalisasi menurut Krasner bukanlah fenomena khas era, yang lazim disebut, globalisasi melainkan hal yang lazim terjadi berabad-abad yang lalu.
Istilah kedaulatan lebih dekat berasosiasi dengan kemapanan kewenangan politik domestik/dalam negeri. Hal ini tentu saja terkait dengan masalah legitimasi politik dan konstitusional yang memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur tertib sosial dan mengendalikan kehidupan warga masyarakatnya dalam rangka mencapai tujuan bernegara; sesuai dengan teori kontrak sosial klasik yang menyebutkan bahwa negara terbentuk karena warga negara tidak dapat mengatur dirinya sendiri dan menyerahkan urusan untuk mengatur mereka kepada negara. Apakah otoritas/kewenangan negara untuk urusan domestik ini mengalami pelemahan karena globalisasi ? Bagi Krasner jawabannya adalah;

“….The domestic organization of states structures has always been influenced by international trends wether this involved the formation of Protestant polities in the sixteenth century, of absolute monarchies in the seventeenth century, of the republics in the nineteenth century, or of fascist, communist, and now of democratic states in the twentieth century. There is no compelling indication that the level of the convergence is greater now than it has been in the past.
There is absolutely nothing new in the fact that the global spread of certain ideas has influenced the organization of domestic political authority.”[4]

Lagi-lagi Krasner menyatakan bahwa globalisasi tidak menghadirkan pengaruh yang baru terhadap struktur politik domestik. Kalaupun ada, hal tersebut adalah hal yang biasa terjadi sejak abad ke-16 masehi. Bagi Krasner, tidak ada indikasi yang berhasil dikumpulkan bahwa tingkat penyebaran ide-ide yang mempengaruhi struktur politik domestik saat ini lebih besar dari yang terjadi di masa lalu.
Pandangan Krasner yang cenderung melihat globalisasi tidak mengakibatkan “undermined” terhadap kedaulatan negara (state sovereignty) dari sisi kontrol aktivitas transnasional dan pengaruhnya terhadap struktur politik domestik, nampaknya konsisten dengan pandangannya tentang pengaruh globalisasi terhadap westphalian sovereignty berikut ini :
‘The argument that concerns for human rights are undermining the sovereign state system is historically myopic. Relations between rulers and ruled have always been subject to external scrutiny. Weaker states especially have never been free of interference from their more powerful neighbors. What has shifted is the specific focus of concern. From the middle of the seventeenth century to the first part of the nineteenth century, rulers were concerned with religius toleration. Beginning with The Treaty of Vienna and much more forcefully in a series of agreements associated with the Balkans in the nineteenth century and with the Versailles peace after the First World War, the primary focus of international attention was with ethnic minorities. After the second World War individual human rights received greater attention…”[5]

Kutipan di atas, lagi-lagi dengan mengajukan bukti-bukti sejarah, mencoba ingin menjelaskan bahwa apa yang disebutkan sejumlah penulis bahwa agenda globalisasi yang didalamnya mengangkat isu hak azasi manusia dapat melemahkan kedaulatan negara (exclusion of external authority) karena adanya sejumlah hak azasi manusia yang bertentangan dengan kedaulatan adalah sesuatu yang ‘historically myopic’. Sesuatu yang bias sejarah. Bagi Krasner, lagi-lagi, itu bukanlah sesuatu yang khas globalisasi karena sesungguhnya adalah perubahan isu yang menjadi ‘focus of concern’ saja dari toleransi beragama pada abad ke-19, isu etnis minoritas pada tahun-tahun pasca Perang Dunia I, dan pasca Perang Dunia II yakni isu hak azasi manusia. Krasner kemudian menegaskan:

“…Wether the issue was religious toleration, minority rights, or human rights sovereignty, understood as the exclusion of external authority, has constantly been challenged throughout the history of the modern state system.”[6]

“…Globalization –manifested in the widespread, although not universally accepted, emphasis on individual human rights – is not an historically unique breach in the armor of sovereignty. Rather it is but the most recent manifestation of the fact that the norm of non-intervention or the exclusion of external authority has always been challenged by alternative principles that legitimated international constraints on the domestic practices that governed relations between rulers and ruled.[7]

Isu hak azasi manusia yang dibawa globalisasi disebut Krasner ‘not an historically unique’ dan norma non intervensi atau ‘exclusion of external authority’, sama seperti pada masa-masa sebelumnya ‘has always been challenged by alternative principles’ yang itu dapat berupa toleransi beragama, hak-hak etnis minoritas, ataupun hak azasi manusia sebagaimana cukup gencar di era globalisasi ini khususnya pasca Perang Dunia II.
Akhirnya, bagaimanakah pandangan Krasner tentang pengaruh globalisasi terhadap masalah ‘international legal sovereignty’ ?

“…National as well as international law is based on mutual recognition. Recognition provides an easily observed sign that an actor can enter into international accords.
“If anything, globalization has made international legal sovereignty more important. The number of international agreements and organizations has proliferated in the last few decades. Many of these represent efforts to captures the benefits of globalization and compensate for the loss of national control by establishing new coordinating and regulatory mechanisms at the international level.”[8]

Kemudian Krasner menyimpulkan bahwa,

“…Globalization has enhanced the incentive to reach agreements in some areas because unilateral control is more difficult. Viewed from the perspective of international law, however, these agreements enhance rather than undermine sovereignty. Indeed, the agreements would be impossible in the first place if states did not mutually recognize their capacity to enter into them.”[9]

Globalisasi dengan international law-nya bukannya melemahkan kedaulatan negara melainkan justru menegaskan bahwa 'international legal sovereignty’ lebih penting dari masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena ‘international law’ tidak mungkin dibuat tanpa ‘recognition’ dari negara-bangsa karena prinsip ‘international law’ sama dengan ‘national law’ yakni ‘mutual recognition’. Globalisasi telah mendorong suatu “incentive” bagi upaya melahirkan persetujuan-persetujuan internasional. Dengan demikian, globalisasi bukannya “undermine” terhadap kedaulatan negara melainkan “enhance it”.
Setelah menyimak pokok-pokok pemikiran yang diangkat oleh Krasner di atas, nampak jelas posisi Krasner yang melihat globalisasi bukan sebagai era dimana ia disebut ‘era globalisasi’ melainkan pada apa yang terjadi di era globalisasi ini. Dari perspektif itulah dan dengan rujukan kekayaan sejarah yang diangkatnya, Krasner menilai bahwa apa yang terjadi terhadap empat pengertian tentang kedaulatan negara di era globalisasi ini sesungguhnya pada dasarnya atau pada karakteristik utamanya merupakan kelanjutan saja dari apa yang terjadi pada abad-abad sebelumnya, dan bahkan berabad-abad sebelum ‘era globalisasi’ disebutkan orang-orang.
Sehingga berbagai anasir yang disebutkan dapat mengancam paham dan eksistensi kedaulatan negara dengan unsur pokoknya menyangkut kontrol, otoritas domestik, westphalian sovereignty, dan hukum internasional adalah sesuatu yang cenderung biasa karena hal tersebut bukanlah hal baru. Krasner ingin mengatakan bahwa berbagai hal tersebut telah sejak dahulu kala ada dan menantang paham kedaulatan negara. Kemudian sejarah membuktikan bahwa tantangan tersebut telah berhasil dilewati oleh paham kedaulatan negara.
Hingga saat ini dan selanjutnya paham kedaulatan negara sebagai sesuatu yang universal akan terus eksis walaupun globalisasi semakin nyata, itulah yang juga ingin disampaikan oleh Krasner ketika di akhir tulisannya ia mengatakan,

“…Globalization has highlighted some tensions between norms and behavior, but there is no evidence that this is leading to some transformation of the international system.”[10]


Negara Bangsa dan Tertib Global

Mencermati tulisan Krasner di atas, maka nampak nuansa (kedaulatan) negara bangsa sebagai sesuatu yang “untouchable”, walaupun oleh suatu makhluk yang bernama ‘globalisasi’ yang kerapkali digambarkan oleh orang-orang sebagai sesuatu yang hebat dan dahsyat. Dengan keyakinan demikian, Krasner menyampaikan gagasannya dari sudut pandang ‘superioritas’ negara-bangsa. Nuansa yang berbeda, kalaupun bukannya sebaliknya, kita temukan pada tulisan David Held yang berikut ini akan kami angkat pokok-pokoknya.
Tulisan David Held beranjak dari titik tolak gagasan bahwa,
“The contemporary nature and scope of the sovereign authority of nation-states can be mapped by looking at a number of ‘internal’ and ‘external’ disjunctures between, on the one hand, the formal domain of political authority they claim for themselves and, on the other, the actual practices and structures of the states and economic system at the national, regional, and global levels.[11]

Pada intinya David Held ingin melihat cakupan dan pengertian kontemporer tentang kedaulatan negara berdasarkan rentangan ketegangan (disjuncture) antara aspek normatif dan aspek praktis baik secara internal maupun eksternal. Kedaulatan negara sendiri menurut Held adalah “the political authority within community which has the acknowledged right to exercise the powers of the state and to determine the rules, regulations and policies within a given territory.[12]
Disjunctures tersebut menurut Held ada lima konteks yaitu hukum internasional (international law), internasionalisasi penentuan kebijakan politik (internationalization of political decision-making), kekuatan hegemonik dan struktur keamanan internasional (hegemonic powers and international security structures), identitas nasional dan globalisasi budaya (national identity and globalization of cultures), dan ekonomi dunia (the world economy). Berikut kami paparkan pokok-pokok pikiran yang dikembangkan Held dalam lima disjunctures tersebut.

“Throughout the nineteenth century, international law was conceived, as noted earlier, as a law between states; states were its subjects and individuals its objects. The exclusion of the individual from the provisions of international law has been challenged and undermined in the twentieth century.”[13]

Kutipan di atas, menjelaskan bahwa pada abad ke-20 ini telah terjadi perubahan penting dalam hukum internasional ketika hukum internasional mengadopsi dan melindungi hak-hak individu melalui United Nation’s Universal Declaration of Human Rights (1948) dan Covenant on Rights (1966). Kondisi ini berbeda dengan abad ke-19 yang menempatkan individu sebagai obyek, bukan subyek hukum sebagaimana negara ditempatkan. Perubahan penting tersebut kemudian berdampak pada upaya peninjauan terhadap hukum internasional yang didasarkan semata pada prinsip state sovereignty. Upaya peninjauan bahkan sudah pada tingkat ‘against’ (melawan) the doctrine that international law is and should be a ‘law between states only and exclusively’.

“Traditionally, international law has identified and upheld the idea of a society of sovereign states as ‘the supreme normative principle’ of the political organization of humankind. In recent decades, the subject, scope, and source of international law have all been contested; and opinion has shifted against the doctrine that international law is and should be a ‘law between states only and exclusively’.”[14]

Globalisasi juga telah memaksakan (disjuncture) internasionalisasi pembuatan kebijakan politik yang digambarkan oleh Held berikut ini,

“The development of international regimes and international organizations has led to important changes in the decision-making structure of world politics. New forms of multilateral and multinational politics have been established and with them distinctive styles of collective decision-making involving governments, IGOs and a wide variety transnational pressure groups and international non-governmental organization (INGOs).”[15]

Kedaulatan dan otonomi negara bahkan dibawah tekanan (underpressure) organisasi ekonomi global serta politik dan aktivitas yang digerakkan oleh organisasi atau badan-badan regional maupun internasional. Held menulis,

“Although the challenge to national sovereignty has perhaps been more clearly debated within the countries of the European Union than in any other region of the world, sovereignty and autonomy are under severe pressure in many places. They are underpressure from a confluence of constraints imposed, on the one hand, by the structure of the international system, particularly by the organization of the global economy and, on the other hand, by policies and activites by leading agencies and organizations, both regional and international.”[16]

Globalisasi juga turut memfasilitasi hadirnya disjuncture kekuatan yang hegemonik dan struktur keamanan internasional. Berkaca pada munculnya Blok Pakta Warsawa dan NATO, meski kini Pakta Warsawa telah bubar, kehadiran blok-blok kekuatan idelogi, politik, dan militer tersebut terkadang dalam operasinya memotong integritas dan otoritas negara anggotanya demi kepentingan bersama blok kekuatan tersebut. Held menggambarkannya sebagai berikut,

“There is an additional disjuncture involving the idea of the state as an autonomous strategic, military actor, and the development of the global system of states, characterized by the existence of great powers and power blocs, which sometimes operates to undercut a state’s authority and integrity.”[17]

Kedaulatan dan otonomi negara anggota blok (NATO misalnya) adalah sesuatu yang dapat dinegosiasikan, jadi kedaulatan negara dalam hal ini tidak berlaku mutlak;
Accordingly, aspects of state sovereignty and autonomy are negotiated and renegotiated through the NATO alliance.[18]

Disjuncture berikutnya tentang identitas nasional dan budaya global. Bagi Held memahami disjuncture ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi terutama teknologi telekomunikasi (dan transportasi) yang memungkinkan individu-individu dari berbagai belahan dunia saling mengetahui, menyaksikan, dan berkomunikasi satu sama lain. Hal inilah yang membuka kemungkinan cara pandang ataupun mekanisme baru dalam melakukan proses pengidentifikasian budaya maupun perilaku individu. Individu-individu seolah ditawarkan alternatif-alternatif dari apa yang selama ini telah mereka pegang dan jadikan kebiasaan. Kecenderungan ini dapat mengarah kepada ‘global culture’ (budaya global) dan melemahkan budaya nasional (lokal). Held mengatakan,

“Nonetheless, the growth of global communications, above all of television, video and film, gives people new ways of ‘seeing and participating’ in global developments. In principle, this opens up the possibility of new mechanism of identification.”[19]

“The globalization of the media involves a complicated set of processes which have implications for the ordering of political identities at many levels…..These processes can weaken the cultural hegemony of nation-states and restimulate the ethnic and cultural groups which compose them. And as nation-states are weakened, growing pressure for local and regional autonomy cannot be rulled out; thus, old political-cultural identities may well be challenged across the world both from above and from below.”[20]

Terakhir, disjuncture ekonomi global bagi Held harus diawali dengan memahami peranan perusahaan multinasional dalam proses internasionalisasi produksi dan internasionalisasi transaksi finansial.

“…Two aspects of international economic processes are central: the internationalization of production and the internationalization of financial transactions, organized in part by multinational companies (MNCs).”[21]

Internasionalisasi produksi dan transaksi finansial mengakibatkan,

“However, the internationalization of production, finance, and other economic resources is unquestionably eroding the capacity of an individual state to control its own economic future.”[22]
“Thus, at the very latest, it can be said that there appears to be a diminution of state autonomy in the sphere of economic policy and a gap between the idea of a political community determining its own future and the dynamics of the contemporary world economy.”[23]

Perkembangan ekonomi dunia menurut Held telah menurunkan kemampuan negara melakukan kontrol atas masa depan ekonominya dan juga kesenjangan antara ide yang dimiliki para pengambil kebijakan negara dengan dinamika kontemporer ekonomi dunia.

Penutup
Disjuncture yang dipaparkan oleh Held di atas sangat menarik dan secara diametral berbeda dengan apa yang dipaparkan oleh Krasner sebagaimana telah kita bicarakan di atas. Krasner bersikeras ingin membuktikan bahwa globalisasi merupakan fenomena biasa saja secara substansial dan historis, walaupun dalam beberapa hal secara intensitas menyebabkan peningkatan (dan tidak ada peningkatan dalam hal lainnya) dalam pengaruhnya terhadap kedaulatan negara-bangsa. Sedangkan Held ingin coba membuktikan melalui lima disjuncture di atas bahwa globalisasi menyebabkan kedaulatan negara bangsa mengalami erosi dan hal ini merupakan fenomena khas yang ditimbulkan oleh globalisasi. Pandangan Held secara padat dapat ditangkap dari kutipan berikut ini,

“The evidence that international and transnational relation have eroded the powers of the modern sovereign state is certainly strong. Global processes have moved politics a long way from activity which simply crystallizes first and foremost around state and inter-state concerns.”[24]

Pandangan yang berbeda antara Krasner dan Held membuktikan bahwa perdebatan tentang globalisasi beserta dampaknya terhadap ‘nation state’ merupakan perdebatan yang menarik dan tidak dapat disederhanakan dalam hubungan yang siapa melemahkan siapa atau siapa yang menghalangi siapa. Perdebatan tentang globalisasi dan ‘nation state’ akan lebih produktif apabila kerangka pemahaman yang dijadikan titik tolak ulasan adalah sama. Nampaknya Held beranjak dari fakta-fakta yang berada dalam suatu kotak yang bernama ‘era globalisasi’ dan coba menunjukkan bahwa apa yang terdapat dalam kotak tersebut melemahkan atau mengerosi kedaulatan negara-bangsa. Sedangkan Krasner justru tidak melihat globalisasi sebagai suatu era yang dimulai ketika orang mengenal istilah ‘globalisasi’ tetapi ia melihat ide, tindakan dan fakta-fakta yang bernuansa transnasional dan internasional yang itu melampaui batas-batas ‘era globalisasi’; dan kemudian Krasner seolah ingin mengatakan, “kenapa anda harus heran dan mengkhawatirkan kedaulatan negara-bangsa karena adanya globalisasi, bukankah itu biasa? Bukankah state sovereignty telah bisa menghadapi hal-hal semacam itu ?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar