hmi komisariat kelautan

hmi komisariat kelautan

Jumat, 04 Maret 2011

Humanisme

Pada tahun-tahun terakhir jargon humanisme lazim digunakan dalam pengertian tatanan nilai yang mengaksentuasikan kompetensi kepribadian setiap individu manusia. Namun jargon ini tidak mengandung keimanan kepada Tuhan. Dan kendati dalam humanisme terlihat bingkai transparan yang berlandaskan paham ateisme, namun para humanis juga menggunakan berbagai format religius untuk mempromosikan norma-norma kemanusiaan. Contohnya, pada abad ke 19 Auguste Comte, seorang positivis Prancis, sengaja mendirikan agama kemanusiaan yang berlandaskan ateisme hanya dengan tujuan membenahi situasi sosial. Kecuali itu, serangkaian doktrin humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat minat dari kalangan elit agama Kriten sehingga mereka menganggap kekristenan sebagai agama humanistik.
Humanisme berasal dari Barat dan mengalami perkembangan dalam lingkungan pemikiran filsafat Barat. Karena itu, untuk mengkaji dan menganalisis gerakan humanisme beserta pengaruhnya pada dasar-dasar epistemologi Barat sudah seharusnya kita merujuk ke berbagai ensiklopedia Barat yang akurat agar kajian bisa dilakukan secara ilmiah dan bebas dari berbagai kecenderungan subyektif. Dalam rangka ini, kita mengutip berbagai ensiklopedia yang tersedia, antara lain Encyclopedia of Philoshopy karya Paul Edward yang menjelaskan tentang humanisme sebagai berikut:
Humanisme adalah sebuah gerakan filsafat dan literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-14 kemudian menjalar ke negara-negara Eropa lainnya. Gerakan ini menjadi salah satu faktor munculnya peradaban baru. Humanisme adalah paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek.
Pada arti awalnya, humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi aspek fundamental bagi Renaisans, yaitu aspek yang di jadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural dan di dalam sejarah sekaligus meriset interpretasi manusia tentang ini. Istilah humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari kata-kata humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran masalah-masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan. Pada zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan sebagai seni-seni bebas, dan ketentuan ini dipandang layak hanya untuk manusia karena manusia berbeda dengan semua binatang.
Kaum humanis bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan. Spirit itu tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaim-klaim mengenai otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat alam natural dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan sejarah. Humanisme yang kembali kepada era klasik bukan berarti mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan dikerahkan oleh orang-orang terdahulu. Di saat yang sama, kaum humanis telah melenyapkan sebagian kepercayaan dan keyakinan masyarakat abad pertengahan. Faktor yang menstimulasi kaum humanis menaruh perhatian kepada kesusasteraan klasik (syair, makna-makna ekspresif, moral, dan politik) ialah keyakinan mereka bahwa kesusasteraan ini sanggup mendidik manusia agar bisa memanfaatkan kebebasan dan ikhtiarnya secara efektif.[1]
Kebebasan dan Ikhtiar
Pemujaan kepada kebebasan adalah salah satu tema terpenting yang menjadi pusat perhatian kaum humanis. Namun, kebebasan yang mereka maksud ialah kebebasan yang bisa diterapkan di alam natural dan di tengah masyarakat. Kebebasan sedemikian ini berseberangan dengan cara berpikir yang diterima pada abad pertengahan, yaitu anggapan bahwa imperium, gereja, dan prinsip-prinsip feodalistik adalah para pengawas tatanan yang berlaku di dunia, dan manusia harus tunduk mutlak kepadanya. Sedemikian diterimanya anggapan ini sehingga tertutup kemungkinan terjadinya perubahan padanya. Institusi-institusi inilah yang menanamkan doktrin bahwa segala urusan, baik yang menyangkut materi maupun spiritual yang diperlukan manusia mulai roti yang menjadi bahan makanan sehari-hari hingga masalah hakikat spiritualitas berada dalam tatanan dimana manusia bergantung kepadanya, sementara para pemuka agama adalah para penafsir dan pengawasan tatanan yang menguasai dunia tersebut.
Humanisme membela kebebasan manusia untuk merancang sendiri kehidupannya di dunia dengan cara yang merdeka. Humanisme memandang instruksi-instruksi tradisional para pemuka agama bukan sebagai perintah yang akan membantu berbagai urusan yang mesti dilaksanakan, melainkan sebagai kendala dan rintangan bagi manusia.[2]
Terlihat bahwa gerakan humanisme adalah merupakan solusi untuk menghadapi intimidasi dan despotisme para pemuka gereja abad pertengahan. Humanisme bertekad untuk mengembalikan kepada manusia hak kebebasan yang telah dinistakan secara total oleh para elit agama di gereja. Pada awal kebangkitannya, kaum humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang yang mengaku sebagai perantara yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, langit dengan bumi, namun di saat yang sama mereka selalu mempraktikkan ketidakadilan. Kaum humanis memperjuangkan otoritasnya untuk mengurus kehidupannya sendiri, dan karena itu mereka akhirnya memberikan penekanan secara ekstrim kepada otonomi dan haknya untuk menguasai diri mereka sendiri.
Gianozo Manetti (1348-1459 ), Marsilo Ficino (1433-99M), dan Pico Della Mirandola dalam menganalisis kebebasan telah menjunjung tinggi otoritas manusia untuk membentuk, mengubah, dan memperbaiki dunia. Pico juga telah mengekspresikan ‘keimanannya’ kepada manusia dengan kalimat-kalimatnya yang masyhur. Kalimat-kalimat itu dia lukiskan sebagai kalimat yang diungkapkan tuhan kepada manusia sebagai berikut:
“Wahai manusia, aku tidak mentakdirkan kalian dengan suatu martabat, atau citra, atau keistimewaan tertentu, sebab kalian sendirilah yang harus mendapatkan semua ini melalui keputusan dan ikhtiar kalian. Apa yang tercakup di dalam undang-undang yang aku tentukan adalah batasan-batasan yang ada pada watak makhluk-makhluk lain. Adapun kalian, kalian sendirilah yang menentukan nasib kalian, tanpa ada tekanan monopolistik dalam bentuk apapun, dengan kekuatan ikhtiar yang telah aku anugerahkan kepada kalian. Aku menempatkankan kalian di dalam posisi sentral dunia sehingga dari titik ini kalian bisa melihat dengan lebih baik apa yang ada di dunia ini. Aku tidak menciptakan kalian sebagai makhluk yang melangit atau yang membumi, yang fana atau yang baka, sebab kalian bisa seperti seorang guru yang absolut dan bisa mencetak dirinya sendiri sesuai bentuk yang dipilihnya.”
Masalah inilah yang pada tahun-tahun berikutnya dibahas oleh Charles Bouille (sekitar 1475-1553), seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De Sapiente. Dalam buku ini dia mensejajarkan manusia yang cerdas dengan Phyromitos[3].
Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada manusia agar bisa menyempurnakan tabiatnya. Dengan penelitian-penelitian teoritis yang efektif, dan dengan keyakinannya yang ekstrim, Bouille mengupas soal kelayakan dan kapabilitas manusia untuk membentuk kehidupannya sendiri di dunia. Keyakinan inipun menjadi semakin tajam dengan kemajuan-kemajuan skeptisisme yang dicapai humanisme di luar Italia pada abad setelahnya. Para penganut skeptisisme saat itu ialah Michael de Montaiyne (1533-79), Pierre Charron (1541-1603), dan Francisco Sanchez. Alhasil, keyakinan yang berlebihan kepada kelayakan manusia untuk membentuk kehidupannya sendiri di dunia telah menjadi dasar keyakinan baru humanisme dalam menghadapi paradigma yang berlaku pada abad pertengahan.[4]
Pandangan ini tidak menyebut-nyebut soal peranan dan kekuasaan Tuhan dalam takdir manusia, yakni manusia yang sudah ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang memiliki kekuatan dan ikhtiar. Bahkan, menurut Bouille yang termasuk salah seorang pemikir humanis, manusia sepenuhnya sejajar dengan Phyromitos yang telah menciptakan manusia beserta akalnya yang sepenuhnya sejajar dengan akal Phyromitos. Di lain sisi, pandangan ini ternyata malah tidak memberikan peluang untuk mendukung nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang disebutkan di dalam Encyclopedia Britanica saat menjelaskan tentang humanisme sebagai berikut:
Pemikiran humanistik yang berasal dari para penganut nilai-nilai kemanusiaan telah menghindari metode-metode tetap filsafat, prinsip-prinsip dan keyakinan agama, dan argumentasi-argumentasi ekstraktif mengenai nilai-nilai kemanusiaan.[5]
Naturalisme
Di mata kaum humanis, naturalisme berarti bahwa manusia adalah bagian dari alam dan alam itu sendiri adalah habitat manusia. Struktur manusia berasal dari alam, dan struktur yang dimaksud ialah jasmani, indera, dan berbagai keperluan dimana manusia tidak bisa memisahkan dirinya dari faktor-faktor natural atau mengabaikannya. Kendati kaum humanis memuji ruh manusia karena kekuatan ikhtiarnya, namun mereka tidak mengabaikan jasmani dan segala yang berkaitan dengannya. Ketentraman dan nilai kenikmatan fisik di mata kaum humanis dan sentimen mereka terhadap praktik asketisisme abad pertengahan memperlihatkan antusias kaum humanis mencari nilai-nilai baru sehubungan dengan aspek-aspek naturalistik manusia.
Di dalam buku Voluptate karya Lorenzo Valla (1407-57) disebutkan bahwa kenikmatan adalah keuntungan monopolistik manusia dan merupakan titik final monopoli aktivitas manusia. Undang-undang yang mengatur berbagai persoalan kota disusun tak lain karena demi profitabilitas yang pada gilirannya akan melahirkan kenikmatan. Demi tujuan inilah pemerintah memberikan pengarahan kepada rakyatnya. Ketakwaan tidak akan memiliki peranan apapun dalam kenikmatan. Kenikmatan atau setidaknya profitabilitas adalah tujuan final industri-industri kebebasan seperti kedokteran, ilmu hukum, syair, dan retorika yang diupayakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan vital….. Pengukuhan posisi kenikmatan dalam kehidupan moralitas telah mendesak kaum humanis untuk membela ajaran epicurisme yang mengkaji filsafat ateisme pada abad-abad pertengahan. Menurut pandangan Epicurus, akal adalah panglima bagi manusia.[6]
Prinsip-prinsip humanisme menunjukkan bahwa paham kemanusiaan ini bermaksud mempromosikan kenikmatan-kenikmatan jasmani untuk menghadapi sistem gereja yang memberikan perhatian secara berlebihan kepada masalah-masalah spiritual. Kaum humanis bahkan memandang kenikmatan-kenikmatan fisik itu sebagai tujuan final aktivitas manusia sampai-sampai humanisme secara prinsipal menilai peranan puritan dan ketakwaan sebagai faktor negatif bagi proses pencaharian kenikmatan dan keuntungan. Dari sisi lain, sebagian humanis berkeyakinan bahwa akal manusia yang menurut mereka sejajar dengan akal Tuhan memiliki kekuatan untuk menguasai manusia dan sistem kemanusiaan. Selain mempertimbangkan watak alamiah manusia, kaum humanis juga mempertimbangkan karakteristik sosial dan politik manusia.
Adalah Bruni yang menterjemahkan buku Etika Nicomachean dan buku Politik dan Ekonomi karya Aristoteles. Segenap kaum humanis tertarik kepada titik distingtif doktrinasi etika Aristoteles, guru logika klasik, dimana dia menyebut keutamaan dan kehinaan manusia sebagai binatang politik. Karena mengukuhkan nilai uang sebagai satu keharusan bagi kehidupan individual dan sosial, kaum humanis merekomentasi etika Aristoteles. Mereka memandang pelecehan terhadap uang, seperti yang termanifestasi di dalam disiplin asketisisme abad pertengahan, sebagai aksi pengabaian terhadap tabiat manusia. Dengan demikian, terbukalah jalan bagi Nicolo Machiavelli yang notabene sosok humanis dalam banyak aspek. Machiavelli dengan tegas mensterilkan dunia politik dari segala teori metafisik atau agamis. Teorinya dikemukakan untuk menunjukkan tiadanya kefanatikan dalam otoritas yang ditampilkan kepada insan-insan politik dalam berbagai situasi.[7]
Psikologi Humanistik
Psikologi modern pada abad ke-20 didasari keyakinan bahwa manusia adalah wujud yang tunggal yang tiada bandingannya. Sesuai karakteristik inilah terapi yang harus dilakukan para psikolog dan psikater kepada manusia. Gerakan ini mengalami perkembangan dalam menentang dua aliran utama, behaviorisme dan psikoanalisis, dalam psikologi abad kedua puluh. Kaum humanis meyakini bahwa setiap individu bertanggungjawab atas kehidupan dan perbuatannya, dan bahwa dalam setiap zaman manusia bisa mengubah pendapat dan perilakunya melalui pengetahuan dan kehendak yang inovatif. Para psikolog humanis menaruh minat kepada perkembangan individual yang paling sempurna dalam berbagai wilayah kecintaan, perbuatan, penilaian diri sendiri (self worth), dan kemerdekaan mentalitas. Menurut perspektif ini, pertumbuhan dan kematangan dipandang sebagai proses dimana pribadi seseorang terbentuk dan akan mengikuti tatanan nilai-nilainya sendiri.
Asosiasi para psikolog humanis mengemukakan lima syarat prinsipal sebagai berikut:
1. Manusia menempati potensi-potensinya.
2. Manusia memiliki esensi dirinya dalam bidang kemanusiaan.
3. Manusia berpengetahuan.
4. Manusia memiliki daya selektif.
5. Manusia memiliki kehendak.
Psikolog AS Abraham H.Maslow (1908-70 ) yang dikenal sebagai salah satu pengarah rancangan psikologi humanis mengusulkan serangkaian peringkat kebutuhan atau stimulan untuk mencapai perfeksi, yaitu kebutuhan-kebutuhan psikologis, keamanan, hasrat dan cinta, penghormatan, dan aktualisasi diri. Menurutnya, kepribadian bisa mencapai peringkat teratas ketika kebutuhan-kebutuhan primer ini banyak mengalami interaksi satu dengan yang lain, dan dengan aktualisasi diri seseorang akan bisa memanfaatkan faktor potensialnya secara sempurna.
Pengertian ‘diri’ menurut kacamata sebagian besar psikolog humanis ialah satu titik aksial. Dalam stuktur kepribadian yang dikemukakan dalam teori psikoterapi Carl Rogers (kelahiran 1402), berbagai masukan yang ada pada diri seseorang tentang dunianya sesuai dengan pengalaman pribadinya. Masukan-masukan ini mengarahkannya secara mutlak ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya. Rogers menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan berusaha keras demi aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan diri (self maintenance), dan peningkatan diri (self inhancement).
Mengikuti tulisan-tulisan Jean Paul Sartre (1905-80) dan para filsuf eksistensialis, sejumlah besar psikolog humanis menerima teori eksistensialistik mengenai signifikansi adanya makna kehidupan.
Ludwig Binswanger (1881-1957), psikater Swiss dan pelopor lama psikologi eksistensialis, menitik beratkan konsep perancangan dunia (world design) yang menjadikan totalitas wujud manusia sebagai titik perhatian. Menurut teori Beans Vanger, manusia bukanlah hasil habitatnya melainkan pencipta habitatnya.
Psikolog AS Rollo May (kelahiran 1909) berpendapat bahwa kita tidak menyadari karakteristik fundamental manusia sebagai wujud yang mengenyam pengalaman, dan bahwa pengalaman ini termanifestasi untuknya. Menurutnya, kesadaran manusia terhadap kefanaannya akan mempengaruhi kehidupan manusia. Psikolog lain dari AS, Clark Moustakes, berpendapat bahwa kesendirian seseorang akan mempengaruhi pribadi dan perilakunya. Dia menulis, selagi eksistensi kesendirian (existential louneliness) merupakan bagian yang tak dapat dihindari dalam pengalaman manusia, maka kesunyian yang berasal dari keterasingan dan pengingkaran diri ini bisa menciptakan guncangan keras.
Dari catatan di atas terlihat bahwa para psikolog humanis melihat pribadi manusia sebagai wujud yang sepenuhnya terpusat kepada dirinya sendiri. Menurut pandangan ini, setiap orang adalah sosok yang tunggal dan bukan dalam bentuk individu-individu dari satu spesis yang sama. Karena itu, setiap individu terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya sendiri, bahkan dalam hal yang menyangkut tatanan nilai yang menguasai perilakunya. Perspektif para humanis terlihat juga menempatkan sebab pelaku (‘illaf fai’iliah) dan sebab tujuan (‘illah gha-iah) di dalam diri manusia sehingga individu bisa mengaktualisasikan segenap potensi dirinya tidak hanya dalam bentuk yang terasing dari sebab-sebab di luar, tetapi bahkan juga dalam posisi yang mengemban tujuan dari perwujudan dirinya, dan individu ini sepenuhnya bertumpu pada dirinya sendiri dalam proses aktualisasi diri, pemeliharaan diri, dan peningkatan diri. Dan eksistensi kesendirian ini menurut para psikolog bisa menimbulkan keguncangan di luar batas.
Agama
Pada tahun-tahun terakhir jargon humanisme lazim digunakan dalam pengertian tatanan nilai yang mengaksentuasikan kompetensi kepribadian setiap individu manusia. Namun jargon ini tidak mengandung keimanan kepada Tuhan. Dan kendati dalam humanisme terlihat bingkai transparan yang berlandaskan paham ateisme, namun para humanis juga menggunakan berbagai format religius untuk mempromosikan norma-norma kemanusiaan. Contohnya, pada abad ke 19 Auguste Comte, seorang positivis Prancis, sengaja mendirikan agama kemanusiaan yang berlandaskan ateisme hanya dengan tujuan membenahi situasi sosial. Kecuali itu, serangkaian doktrin humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat minat dari kalangan elit agama Kriten sehingga mereka menganggap kekristenan sebagai agama humanistik.
Carl Barth, teolog Protestan abad ke 20 berkebangsaan Swiss, meyakini humanisme tidak akan ada tanpa Injil. Para teolog Katolik Roma juga mengklaim bahwa Kristen Katolik adalah agama humanis sebab Katolik menegaskan bahwa manusia di mata Tuhan adalah makhluk yang tiada bandingannya.[8]

Kendati memiliki pandangan sedemikian rupa mengenai asketisisme dan ketuhanan, humanisme tidak memiliki tokoh yang anti agama atau anti Kristen. Kecenderungan untuk membela nilai dan kebebasan manusia telah mendorong kaum humanis untuk berdiskusi mengenai Tuhan, kekuatan-Nya, serta masalah-masalah kontemporer mengenai ruh, keabadian ruh, dan kebebasan ruh yang biasanya tetap dikemukakan dengan tipe-tipe tradisional abad-abad pertengahan dan terlimitasi oleh paradigma masa itu. Betapa pun demikian, dalam humanisme pembahasan-pembahasan ini menemukan makna baru, sebab menurut mereka pemahaman dan keyakinan adalah demi daya inovatif manusia di dunia, dan daya ini juga mereka pertahankan di dalam areal keagamaan. Gianozzo Manetti dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Humanisme (De Dignitate et Excelentia Hominis) menyebutkan bahwa kitab-kitab suci bukan hanya merupakan satu statemen untuk kebahagiaan transendental, melainkan juga untuk kebahagiaan di muka bumi. Menurut Manetti, agama ialah kepercayaan kepada nilai perbuatan manusia yang akan mendapat pahala di dalam kehidupan akhirat kelak. Sebagaimana Lorenzo Valla dan kebanyakan tokoh lainnya, Manetti berpandangan bahwa tugas fundamental agama ialah menyokong manusia dalam kehidupan hukum dan aktivitas politik.[9]

Walaupun tidak memberikan penekanan terhadap keimanan kepada Tuhan, kaum humanis tetap memandang harus konsisten kepada doktrin-doktrin keagamaan, kendati agama itu ternyata berlandaskan ateisme dan dicetuskan oleh seorang manusia semisal Auguste Comte. Sebab mereka meyakini tatanan sosial akan porak poranda tanpa adanya komitmen kepada serangkaian prinsip agama, baik yang berdasarkan monoteisme maupun ateisme. Karena itu, di sini kaum humanis bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok: penyembah Tuhan dan ateis. Namun, perlu disebutkan bahwa dalam pandangan kaum humanis penyembah Tuhan-pun, yang menjadi orientasi ialah nilai dan kebebasan manusia, sedangkan pengenalan Tuhan beserta kekuatan-Nya hanya dipandang sebagai instrumen, dan bahwa komitmen kepada ajaran dan instruksi-instruksi agama hanya merupakan instrumen dengan peranannya yang superfisial.

Toleransi
Pandangan-pandangan religius humanisme sarat dengan spirit toleransi. Istilah toleransi menjadi popular akibat pengaruh peperangan bermotifkan agama pada abad-abad ke 16 dan 17. Tolerensi membawa pengertian mengenai kemungkinan hidup rukun antar penganut berbagai agama, yaitu agama-agama yang tetap berbeda satu dengan yang lain dan tak mungkin diubah menjadi satu keyakinan. Oleh sebab itu, para humanis memastikan spirit persaudaraan sebagai satu pandangan kolektif yang prinsipal dalam semua keimanan agama dan memungkinankan terwujudnya perdamaian agama secara universal.
Di satu sisi, menurut kaum humanis, ketentraman hidup beragama juga bersentuhan dengan persatuan yang urgen di dalam filsafat dan agama. Leonardo Bruni melontarkan pernyataan apakah Saint Paul telah mengajarkan sesuatu yang lebih dari ajaran-ajaran Plato? Berdasarkan pandangan para bapa gereja –dimana para humanis juga turut memberikan kontribusi dalam pandangan ini- , Kristen juga dengan mudah menerapkan rasionalisme yang diajarkan oleh filsafat kuno, sebab akal yang didukung oleh filsafat ini adalah akal yang termanifestasi di dalam kalimat Allah.

Dari sisi lain, Pico Della Mirandola yang paling banyak mendapat inspirasi dari teori toleransi telah menjadi tokoh pembawa pesan baru perdamaian yang mengundang perhatian segenap agama dan filsafat dunia. Pidato tentang martabat manusia (Oration on Dignity of Man) yang awalnya disebut lagu perdamaian mengajukan proposal untuk merancang dasar perdamaian secara universal dengan memperlihatkan kesingkrunan antara pikiran platonisme dan paham aristoteles. Pico bahkan menggagas kompromisasi dua paham ini dengan aliran-aliran filsafat lain, cabala (ajaran mistik Yudaisme), magis, kependetaan (pateristic),dan skolastik. Gagasan penyesuaian filsafat dengan kekristenan dan wahyu keagamaan berkaitan dengan Pico Mirandolla. Sebagaimana Pico, tak sedikit kaum humanis yang meyakini pluralitas ideologi sedemikian ini berasal dari satu sumber dan satu ilham yang pertama, dan semua ini berjalan dalam satu jalur yang unilateral. Kembali kepada akar-akarnya adalah kembali kepada perdamaian religius para nenek moyang manusia dan merupakan penuntasan sentimen dan fanatisme agama.

Dalam toleransi humanistik, segenap pemeluk ideologi diseru kepada persatuan ideologis, baik ideoligi filsafat maupun agama, termasuk agama-agama monoteis, idolatris, dan khurafat. Dengan demikian, demi persatuan toleransi ini sama sekali tidak mempertimbangkan apa yang menjadi titik perbedaan, dan tidak ada satupun prinsip yang konstan yang bisa dijadikan orientasi perdamaian antar ideologi dan agama. Paham semacam ini jelas absurd dan bersifat artifisial.

Ajaran-Ajaran Humanisme
Ideologi-ideologi dibawah ini adalah ajaran-ajaran yang terbentuk berdasarkan paham humanisme:
1.Komunisme, karena di dalam ideologi ini humanisme bisa menghapus keterasingan manusia dari dirinya akibat kepemilikan swasta dan sistem masyarakat kapitalisme.
2.Pragmatisme, karena pandangan yang menjadikan manusia sebagai orientasi, sebagaimana pandangan Protagoras, telah menjadikan manusia sebagai kriteria segala sesuatu.
3. Eksistensialisme yang telah memberikan argumentasi bahwa tidak ada satupun alam yang sebanding dengan alam subyektivitas manusia.[10]
Dengan demikian, sebagian besar ajaran filsafat panca Renaisans secara mendasar telah dipengaruhi pikiran humanistik. Contohnya, komunisme yang sebagian besar pandangannya tertuangkan kepada masalah kerakyatan, pragmatisme yang ajarannya bersandarkan kepada esensi perbuatan manusia, personalisme yang meyakini spirit manusia memiliki daya pengaruh yang terbesar, dan eksistensialisme yang banyak memberikan penekanan kepada wujud aktual manusia, semuanya memandang manusia sebagai satu wujud yang bertumpu pada esensinya sendiri serta wujud dimana dirinya adalah pelaku dan tujuannya sendiri.
Konklusi
Dalam bab ini kita dapati gambaran global mengenai prinsip-prinsip pemikiran humanisme dimana yang terpenting ialah poin-poin sebagai berikut:

1. Manusia adalah standar dan kriteria segala sesuatu.
2. Penekanan terhadap urgensi kembali kepada peradaban era klasik untuk menghidupkan kembali dan mengembangkan potensi dan kekuatan yang diyakini orang-orang terdahulu.
3. Penekanan secara berlebihan kepada kebebasan dan ikhtiar manusia akibat kebencian kepada intimidasi dan kediktatoran para penguasa abad pertengahan.
4. Pengingkaran terhadap status para rohaniwan sebagai perantara antara Tuhan dan manusia.
5. Penyerahan sepenuhnya kekuasaan dan penentuan nasib, dan kekuasaan despotisme harus ditolak mentah-mentah.
6. Manusia adalah sentral alam semesta.
7. Akal manusia sejajar dengan akal Tuhan.
8. Penolakan sistem-sistem tertutup filsafat, prinsip dan keyakinan-keyakinan agama, serta argumentasi-argumentasi ekstraktif mengenai nilai-nilai kemanusiaan.
9. Penolakan terhadap praktik-praktik asketisme, dan perhatian mesti dipusatkan kepada faktor jasmani dan kenikmatan-kenikmatan fisik.
10. Akal manusia adalah pimpinan manusia, dan status agama sebagai komando harus ditiadakan.
11. Kenikmatan-kenikmatan jasmani adalah tujuan final segala aktivitas manusia.
12. Manusia adalah binatang politik.
13. Dunia politik harus diceraikan dari segala pandangan metafisik atau agama, dan manusia adalah aktor yang memiliki wewenang mutlak dalam dunia politik.
14. Dalam psikologi, setiap manusia diteliti sebagai satu spesis tunggal, dan bukan sebagai satu individu yang merupakan bagian dari satu spesis manusia. Atas dasar ini, manusia berwenang untuk semata-mata mengikuti tatanan nilainya sendiri.
15. Aktualisasi diri, pemeliharan diri dan peningkatan diri mesti dipelajari dalam setiap individu.
16. Manusia adalah pencipta lingkungannya dan bukanlah hasil lingkungannya.
17. Manusia harus terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya.
18. Kelayakan kepribadian setiap individu bisa terbentuk tanpa keimanan kepada Tuhan.
19. Keberadaan agama dipandang sebagai faktor superfisial yang diperlukan demi popularitas nilai-nilai kepribadian manusia dan perbaikan sosial, namun agama ini bisa jadi merupakan agama produk manusia ala August Comte.
20. Penekanan terhadap persatuan antar segenap agama, baik agama yang berpangkal dari Nabi Ibrahim maupun agama khurafat.
Prinsip-prinsip diatas adalah fondasi-fondasi humanisme. Hanya saja, dalam persepsi monoteistik seperti yang popular di kalangan teolog Kristen, humanisme yang bermakna prikemanusiaan tidaklah bersebarangan dengan keimanan religius. Sehubungan dengan ini, para humanis beragama mengemukakan poin-poin sebagai berikut:
1. Humanisme dengan pengertian prikemanusiaan tidak bertentangan dengan agama, karena manusia menurut konsep Tuhan adalah makhluk yang tiada taranya.
2. Pembelaan nilai dan kebebasan manusia tidak berbenturan dengan agama Kristen.
3. Berdasarkan ajaran agama, manusia juga memiliki daya kreativitas yang tiada bandingannya.
4. Kitab suci Ilahi bukan hanya menjamin kebahagiaan di alam akhirat, tetapi juga di alam dunia.
5. Menurut agama-agama Ilahi, keyakinan kepada nilai perbuatan manusia akan menjamin kesuksesan amal perbuatan dan pahalanya di akhirat.
6. Akal yang dikemukakan dalam Yunani kuni tak lain adalah kalimat Allah dalam Kristen.
Perlu diingat, kalangan humanis beragama juga memandang manusia, nilai, dan kebebasannya sebagai tujuan, dan bahwa pengenalan Tuhan dan kekuasaannya adalah satu jembatan untuk mencapai kepada tujuan tersebut. Maka dari itu, esensialitas manusia di depan Tuhan akhirnya terkemukakan, dan ini bisa dinilai sebagai titik distingtif pemikiran kaum humanis monoteis dan beragama.
Kesimpulan globalnya, humanisme tidak bertentangan dengan kepatuhan kepada agama jika pengertiannya ialah kepercayaan kepada nilai-nilai kemanusiaan, serta kedudukan, martabat, ikhtiar, dan kebebasan manusia. Dengan kata lain, muatan humanisme di sini tidak keluar dari wilayah agama. Akan tetapi, jika manusia dalam pengertiannya yang hakiki dan merupakan khalifatullah ternyata dipandang sebagai tujuan final oleh paham humanisme, kemudian pengenalan Tuhan dan kepatuhan kepada ajaran agama dipahami semata-mata sebagai sarana dan instrumen untuk mencapai tujuan itu, maka humanisme akan berada di luar lingkungan agama. Adapun anggapan humanistik yang mensejajarkan rasio manusia dengan rasioTuhan jelas sangat kontras dengan makrifat dan ketaatan beragama. []
Bersambung..
Penulis: Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran, saat ini aktif di IRIB Islamic Rep. of Iran Broadcasting
Rujukan:
1. Encyclopedia of Philosophy, Paul Edwards, jilid IV hal. 69, 70.
2. Ibid. halaman 70
3. Dalam mitos-mitos Yunani disebutkan bahwa Phyromitos adalah telah menciptakan manusia dan memberinya akal dan kemampuan berbicara, membaca, dan menulis.
4. Ibid. jilid IV halaman 70.
5. Encyclopedia Britanica, cetakan ke 15, jilid IV halaman 137
6. Encyclopedia of Phylosophy jilid IV halaman 70.
7. Ibid.
8. Encyclopedia Britanica jilid IV, halaman 137-138.
9. Encyclopedia of Philosophy IV, 71
10. Encyclopedia of Philosophy IV, 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar